Oleh Noer Fauzi Rachman. Pernah menjadi ketua Konsorsium Pembaruan Agraria. Kandidat Doktor pada Universitas Berkeley, California.
WHY? |
Membangun partisipasi dalam latihan bukan sekadar untuk membuat suasana latihan jadi enak. Juga bukan semata-mata membuat orang lain meniru dengan sukarela cara-cara baru mengatasi masalah. Namun lebih dari itu, dia ditujukan untuk membantu mengembangkan cara pandang, kemampuan, kepercayaan diri serta komitmen dari peserta latihan. Dengan begitu, peserta latihan diharapkan mengembangkan dirinya pula melalui sejumlah perubahan pengetahuan, sikap, dan perilakunya.
Ketika sebuah cara pandang baru, strategi baru, rencana aksi baru terwujud, mungkin saja timbul perasaan takut, ragu, curiga atau kehilangan kepercayaan diri dan sejenisnya untuk turut terlibat. Mungkin pula, ada rasa enggan menghadapi perubahan, karena perubahan tersebut berbenturan dengan nilai-nilai, sikap dan kebiasaan yang dipelihara sebelumnya. Pada keadaan demikian, perubahan nilai-nilai, sikap dan perilaku hanya mungkin melalui penggunaan pendekatan partisipatif, yang memiliki kepekaan untuk menelusuri dan mengikis berbagai hambatan sosial seperti: enggan menghadapi otoritas (pimpinan panitia, narasumber, tokoh pemerintah, dll.); takut dan atau rendah diri tampil (berbicara dll.) di tengah pertemuan kelompok; tidak mempercayai niat pemegang kekuasaan, menganggap ada ‘udang di balik batu’; tidak berani mengambil risiko atau takut kehilangan muka atau takut merugi; takut dikecam atau digunjingkan karena mengambil peran yang lebih dari biasanya; perbedaan (mungkin pula pertikaian) antarkelompok; merasa tidak berdaya, tidak berani mengemukakan harapan, putus asa, atau ngikut saja; merasa kurang berpengalaman kerja dalam kelompok; hingga merasa kurang keterampilan dalam perencanaan dan pemecahan masalah.
Baca selengkapnya dan [unduh di sini]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar