Oleh Herizal E. Arifin
Konferensi Dunia tentang HAM yang disponsori PBB di Viena, Austria, 1993 melahirkan Deklarasi Viena dan Program Aksi. Para peserta sebanyak 171 negara, termasuk Indonesia, sepakat dan bersungguh-sungguh mengakui prinsip-prinsip HAM yang universal, saling berkait dan saling bergantung (interdepedency), dan tidak dapat dibagi-bagi (indivisibility) antara hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Deklarasi Viena menyerukan upaya dan cara baru untuk menghilangkan halangan-halangan; menghadapi tantangan-tantangan untuk menjamin pewujudan, dan mencegah terus berlangsungnya pelanggaran HAM di tingkat nasional, regional, dan internasional, termasuk hak ekonomi, sosial, dan busaya.
Saat ini, kiranya sudah masa yang pantas kita menakar kemajuan dan menagih akuntabilitas pewujudan ikrar Indonesia terhadap penegasan Deklarasi Viena tersebut. Dekalrasi ini mendorong masyarakat dunia meningkatkan pengakuan terhadap prinsip keutuhan HAM. Pengakuan ini membawa pesan penting: satu hak tertentu terlanggar atau terabaikan maka hak-hak lain pun serta-merta terkurangi penikmatannya.
Diketahui banyak orang, pemahaman dan penanganan masalah layanan publik, seperti pengangguran, buruknya layanan kesehatan dasar, pendidikan, air bersih, kebutuhan bahan pangan penting, dan perumahan dipandang sekadar tugas pembangunan. Bahkan banyak contoh dipraktikan bagaikan kebaikan hati atau rasa iba pemerintah kepada rakyatnya, khususnya bagi orang kebanyakan yang hidup bersama kemiskinan dan tidak berdaya mendaku hak asasi manusia mereka selama bertahun-tahun. Malangnya lagi, negara dan pelaku pembangunan lainnya, termasuk organisasi-organisasi bantuan internasional, kerap kita dapati mengabaikan hubungan hal-hal tersebut dengan kewajiban HAM negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar