Disadur oleh Herizal E. Arifin
Ringkasan Pasal-Pasal Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
|
Prinsip-Prinsip Hak Asasi Manusia
Hak Asasi Manusia adalah kekuatan yang dimiliki oleh semua orang terhdap kondisi dasar yang mendukung upaya-upaya mereka untuk hidup secara damai dan bermartabat dan untuk mengembangkan potensi mereka seutuhnya sebagai manusia. Kantor Komisi Tinggi untuk HAM PBB menyatakan: “HAM dapat dirumuskan sebagai jaminan hukum universal yang dimiliki manusia, dan yang melindungi pribadi dan/atau kelompok dari tindakan dan pembiaran yang mempengaruhi martabat manusia yang fundamental.” |
HAM dapat ditegakkan ketika dikodifikasikan sebagai konvensi, kovenan atau perjanjian atau ketika diakui sebagai hukum internasional yang umum (customary international law).
Diadopsi oleh Majelis umum PBB tahun 1948, DUHAM dianggap sebagai pondasi pertahanan dan pemajuan HAM internasional yang modern. DUHAM dibangun berdasarkan ide bahwa HAM didasarkan atas martabat yang melekat pada diri setiap orang. Martabat ini, dan hak atas kebebasan dan kesetaraan yang merupakan turunannya, tidak dapat diingkari.
Prinsip-prinsip Dasar Hak-Hak Asasi Manusia:
1. HAM bersifat universal (universality). Semua orang di seluruh dunia terikat pada HAM. Universality merujuk pada nilai-nilai moral dan etika tertentu yang dimiliki bersama di seluruh wilayah di dunia, dan Pemerintah serta kelompok masyarakat harus mengakui serta menjunjungnya. Meskipun begitu, universalitas dari hak bukan berarti bahwa hak-hak tersebut tidak dapat berubah ataupun harus dialami dengan cara yang sama oleh semua orang. Universalitas HAM tercakup pada kata-kata di pasal 1 DUHAM: “Semua manusia dilahirkan bebas dan setara dalam martabat dan hak.
2. HAM tidak dapat direnggut (inalienability). Ini berarti hak yang dimiliki tiap orang tidak dapat dicabut, diserahkan atau dipindahkan.
3. HAM tidak dapat dipisah-pisah (indivisibility). Hal ini merujuk pada kepentingan yang setara dari tiap-tiap hak asasi manusia, apakah itu sipil, politik, ekonomi, sosial ataupun budaya. Seluruh hak asasi manusia memiliki status yang setara, dan tidak dapat ditempatkan pada pengaturan yang bersifat hirarkis. Hak seseorang tidak dapat diingkari oleh karena orang lain memutuskan bahwa hak tersebut kurang penting atau bukan yang utama. Prinsip indivisibility ini diperkuat kembali oleh Deklarasi Wina, 1993.
4. HAM bersifat saling tergantung (interdependency). Hal ini merujuk pada kerangka kerja pelengkap dari hukum hak asasi manusia. Pemenuhan satu hak seringkali tergantung, sepenuhnya atau sebagian, pada pemenuhan hak yang lain. Sebagai contoh, pemenuhan hak atas kesehatan mungkin tergantung pada pemenuhan hak atas pembangunan, atas pendidikan atau informasi. Sama saja, kehilangan satu hak juga akan menyebabkan terabainya hak-hak yang lain.
5. Prinsip kesetaraan (Equality) merujuk pada pandangan bahwa seluruh manusia diberkati dengan hak asasi manusia yang sama tanpa ada perbedaan. Kesetaraan bukan berarti memperlakukan orang secara sama, tetapi lebih pada mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk lebih memajukan keadilan sosial untuk semua.
6. Prinsip tanpa diskriminasi (non-discrimination) adalah satu kesatuan dengan konsep kesetaraan. Prinsip non-diskriminatif melingkupi pandangan bahwa orang tidak dapat diperlaukan secara berbeda berdasarkan kriteria yang bersifat tambahan dan tidak dapat diijinkan. Diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, kesukuan, jender, usia, bahasa, ketidak-mampuan, orientasi seksual, agama, politik atau pendapat lainnya, asal-usul secara sosial atau geografis, kepemilikan, kelahiran atau status lainnya yang dibuat oleh standard HAM internasional, melanggar HAM.
Pandangan tentang partisipasi dan inklusi (mengikutsertakan), seperti juga akuntabilitas dan supremasi hukum (rule of law”) adalah paradigma penting ketika kita berbicara tentang HAM.
7. Prinsip partisipasi dan inklusi (participation and Inclusion): Setiap orang dan semua orang memiliki hak untuk berpartisipasi dalam serta mengakses informasi yang berhubungan dengan proses pengambilan keputusan yang mempengaruhi kehidupan dan keberadaannya. Pendekatan berbasis-hak membutuhkan partisipasi yang tinggi dari komunitas, masyarakat sipil, minoritas, perempuan, pemuda/i, masyarakat adat dan kelompok-kelompok lain.
8. Prinsip akuntabiltias dan supremasi hukum (accountability and rule of law). Negara dan para pemangku kewajiban harus bisa menjawab mengenai kinerja HAM. Dalam hal ini, mereka harus mematuhi norma-norma dan standard hukum yang dinyatakan dalam instrumen HAM internasional. Jika mereka gagal mermatuhinya, para pemegang hak yang menjadi korban memiliki hak untuk mengajukan penggantian yang sesuai di hadapan pengadilan yang kompeten atau pengadil lainnya sesuai dengan aturan dan prosedur yang diatur oleh hukum. Pribadi, media, masyarakat sipil dan komunitas internasional memainkan peranan penting dalam membuat pemerintah akuntabel tentang kewajibannya untuk menjunjung tinggi HAM.
Sumber:
Flowers, N. (2000). The Human Rights Education Handbook: Effective Practices For Learning, Action, and Change. Minneapolis, MN: University of Minnesota.
Flowers, N. (2000). The Human Rights Education Handbook: Effective Practices For Learning, Action, and Change. Minneapolis, MN: University of Minnesota.
Ravindran, D. J. (1998). Human Rights Praxis: A Resource Book for Study, Action and Reflection. Bangkok, Thailand: The Asia Forum for Human Rights and Development.
Mertus, J. et al. (1999). Local Action/Global Change: Learning About the Human Rights of Women and Girls. UNIFEM.
UNFPA. (2006). UNFPA and Human Rights: Human Rights Principles. Available online: http://www.unfpa.org/rights/principles.htm.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar