Herizal Effendi Arifin
DALAM seminggu terakhir, hampir semua media cetak dan elektonik, baik local dan nasional memberitakan kekerasan yang terjadi terhadap Jamaah Ahmadiyah (JA). Bahkan dalam waktu 3 hari terjadi serangan massa di 3 wilayah berbeda, yaitu Tasikmalaya, Makassar, dan Pandeglang.
Di Pandeglang Provinsi Banten, ribuan massa menyerang puluhan JA. Peristiwa itu menyebabkan tiga orang JA tewas dan enam lainnya harus mendapat perawatan di rumah sakit. Sejatinya sejak 2001- 2011 tercatat 32 kasus penyerangan terhadap JA (detik.com, 10/2/ 2011). Serangan terjadi kian meluas ke beberapa daerah di tanah air. Di Jabar saja, Pikiran Rakyat (7/2/211) mencatat 17 kali terjadi penyerangan di berbagai wilayah sejak 2005 – 2011. Belum lagi yang terjadi di Lombok Barat dan Timur (NTB), Makassar (Sulsel), Ketapang (Kalbar). Beberapa kasus berulang di wilayah yang sama. Masihkah perlu kekerasan terhadap Ahmadiyah?
Di Pandeglang Provinsi Banten, ribuan massa menyerang puluhan JA. Peristiwa itu menyebabkan tiga orang JA tewas dan enam lainnya harus mendapat perawatan di rumah sakit. Sejatinya sejak 2001- 2011 tercatat 32 kasus penyerangan terhadap JA (detik.com, 10/2/ 2011). Serangan terjadi kian meluas ke beberapa daerah di tanah air. Di Jabar saja, Pikiran Rakyat (7/2/211) mencatat 17 kali terjadi penyerangan di berbagai wilayah sejak 2005 – 2011. Belum lagi yang terjadi di Lombok Barat dan Timur (NTB), Makassar (Sulsel), Ketapang (Kalbar). Beberapa kasus berulang di wilayah yang sama. Masihkah perlu kekerasan terhadap Ahmadiyah?
Satu dekade belakangan, kata kekerasan semakin fasih diucapkan dan praktiknya kian merebak di kalangan masyarakat. Kata ini dalam banyak kasus hampir selalu dirumuskan dengan tindakan fisik oleh individu atau kelompok kepada individu atau kelompok lainnya.
Apabila kekerasan hanya dilihat sebagai tindakan penghilangan kemampuan somatik (tubuh) atau menghilangkan kesehatan belaka secara sengaja, maka teramat sederhana menganut perdamaian sebagai suatu situasi ideal. Contoh ekstrimnya, orang mati dibunuh. Pemahaman sebatas ini menerima tatatan sosial, ekonomi, dan politik yang buruk sebagai bentuk damai.
Kekerasan, menurut Johan Galtum dalam Menggapai Dunia Damai, perbedaan antara yang potensial (mungkin) dan aktual (nyata). Jika polisi menurunkan kekuatan penuh (potensial) dapat mencegah ribuan warga menyerang puluhan JA tetapi segelintir personel yang bertugas (aktual) untuk menyingkirkan bentrokan itu, maka ada unsur kekerasan. Mantan Ketua Umum PBNU Hasyim Muzadi dan Ketua MUI KH Amidhan menilai penjagaan dianggap kurang untuk menangani kerumunan massa yang begitu besar dan datang dari lain desa.
Kekerasan struktural dan langsung
Kekerasan memiliki dimensi luas, tidak sebatas kekerasan somatik. Mengutip Galtung (1988) kekerasan bisa muncul dalam dimensi struktural dan langsung. Kekerasan struktural disemai oleh struktur kekuasaan menghasilkan ketidakadilan dan rasa tidak aman. Aspirasi masyarakat sebagai tanggapan balik kekerasan struktural bila ditangani dengan tindakan memaksa akan menuai korban jiwa. Sehingga kekerasan struktural dan langsung terjadi timbal balik.
Media massa menggambarkan sejumlah kekerasan dialami JA, mulai dari pengusiran paksa, perusakan hingga pembakaran harta benda. Bahkan tidak segan-segan melukai dan membunuh. Praktik-praktik kekerasan di atas disebut Galtung sebagai tipologi kekerasan langsung karena langsung membahayakan jasmani sekaligus psikologis.
Pendekatan kekerasan langsung menggunakan badan manusia itu sendiri dan alat-alat berupa jenis senjata tertentu. Pendekatan lainnya, memakai organisasi atau gang. Kedua pendekatan ini biasaanya bekerja berjalin kelindan dan saling bergantung. Temuan sementara Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menunjukkan ada segerombolan orang mengenakan atribut pita warna hijau dan biru di dada dan leher. Massa tampak terorganisir.
Praktik kekerasan langsung dilakukan pula aparat negara dengan cara membatasi badan dan ruang. JA dilarang melakukan seminar, praktik ibadah di ruang publik, dan mengevakuasi. Ibarat ada sekelompok harimau masuk ke sebuah dusun, penduduk dilarang berkerumun di luar rumah, disuruh mengunci pintu rumah rapat-rapat, bahkan memindahkan ke dusun tetangga. Bukan menghalau keluar harimau dari dusun dan melindungi penduduk dari terkaman harimau.
Kekerasan struktural bekerja secara tidak langsung. Bukan berasal dari orang namun berasal dari sistem. Biasanya berbentuk kebijakan melalui institusi negara, agama, adat, dst. Dalam kasus JA, praktiknya berupa kampanye diskriminasi agar masyarakat menolak JA, memberi cap (stigma) sesat. Kemudian mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menag, Mendagri, dan Jaksa Agung yang isinya melarang JA menyebarkan ajaran paham mereka sepanjang mengaku beragama Islam atau dibubarkan. SKB ini ditengarahi banyak kalangan memicu kekerasan berikutnya, menambah tekanan mental kepada JA, mengurung kesadaran kritis masyarakat, dan melemahkan penegakkan hukum.
Dengan demikian, JA mengalami kekerasan structural sekaligus langsung. Hal ini menghalangi mereka merealisasikan potensi diri dan mengembangkan pribadi. Padahal hak ini dijamin UUD 45 dan UU No. 12 tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Hak Sipil dan Politik dan pemerintah adalah pihak yang paling berkewajiban dan bertanggung jawab mengemban amanah konstitusi itu.
Untuk itu, Pertama, aparat kepolisian bergegas segera menangkap dan mengadili para pelaku. Langkah-langkah hukum diambil guna menghindari sangkaan pemerintah melakukan praktik impunitas (kekebalan hukum) dan pelupaan sosial. Kedua, SKB Tiga Menteri patut dipertimbangkan untuk dicabut karena berlawanan dengan konstitusi dan melanggar hukum HAM nasional maupun internasional. Karena pembatasan hak hanya boleh dengan undang-undang. Ketiga, pemerintah tidak boleh lupa menangani korban, terutama perempuan dan anak-anak. Perlu ada pendekatan kemanusiaan. Selain memulihkan kesehatan, perlu juga penanganan secara psikologis jika korban membutuhkan. Pemerintah diharapkan menanggung seluruh biaya dan kebutuhan lain para korban. Keempat, sia-sia mencari akar masalah kekerasan berasal dari perseteruan agama. Sumber soal sesungguhnya adalah penegakan hukum yang lemah, carut-marut politik, dan kekacauan ekonomi. Untuk itu, menegakkan hukum, memperbaiki sistem politik, dan meningkatkan kesejahteraan rakyat tidak dapat ditawar lagi. Inilah batu alas membangun Indonesia tanpa kekerasan. Wallahualam bishawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar