Simak Statistik

Sabtu, 02 Juli 2011

Membangun Logframe Melawan Terorisme

Herizal Effendi Arifin


Tulisan ini pernah dipublikasikan di HU Pikiran Rakyat, 23 Maret 2011


SEPEKAN belakangan lima paket bom buku disebar di Jakarta, 3 paket dikirim dalam sehari. Media memberitakan, dua paket bom meledak di Utan Kayu dan Cibubur Jakarta Timur, sisanya berhasil diledakan Tim Gegana. Kini makin meluas ke sejumlah daerah.

Modus rangkaian teror melalui paket bom buku tidak hanya dialamatkan kepada institusi negara dan para politisi tapi juga masyarakat sipil lainnya. Modus tergolong baru ini memanggil kembali ingatan kita pada ratusan warga sipil yang meregang nyawa dan luka-luka akibat peledakan bom di Denpasar dan Jakarta pada tahun-tahun belakang. Disamping itu, meluluh-lantak sejumlah fasilitas publik, area pusat kegiatan ekonomi, tempat ibadah dan rumah tinggal. Korban tewas dan luka-luka terbanyak selalu berada di pihak warga sipil.

Terorisme bukanlah wacana tetapi nyata sebuah gerakan. Karena itu upaya melawannya pun mestinya dilakukan melalui sebuah gerakan pula. Sebuah gerakan yang sistematis dan terprogram dengan pendekatan berbasis hak asasi manusia, seperti partisipasi kalangan masyarakat luas. Upaya-upaya  ini akan lebih efektif dan berjangka panjang ketimbang sekadar mempertontonkan reaksi-reaksi pemburuan, penangkapan, pengadilan, dan penghukuman para teroris atas aksi-aksi teror meraka.

Aksi terorisme setiap waktu mengintai ketenangan warga negara menikmati kehidupan karena nyata-nyata mengancam hak hidup dan hak atas rasa aman warga negara yang dijamin konstitusi. Ghalibnya gerakan, dapat dipastikan dilakukan secara terus-menerus dan terorganisasikan hingga mencapai tujuan-tujuan mereka.

Media massa melukiskan terorisme sebagai hantu peradaban modern. Sifat tindakan, pelaku, tujuan strategis, motivasi, target, dan metodenya kian kaya dan meluas. Terorisme bukan bentuk kejahatan biasa, melainkan kejahatan terhadap perdamaian dan keamanan umat manusia. Menurut Indriyanto Seno Aji (2007), terorisme sudah menjadi kejahatan luar biasa karena mengorbankan manusia yang tidak berdosa dan menggunakan kekerasan dalam operasinya. Kejahatan ini merusak pula sistem perekonomian, integritas negara, menghilangkan nyawa penduduk sipil, dan fasilitas umum.

Belum adanya satu rumusan bulat pengertian terorisme, tidak menjadikan terorisme boleh bebas bergentayangan. Upaya melawan terorisme sudah sejak menjelang pertengahan abad ke-20 di Eropa. Tahun 1937 lahir Konvensi Pencegahan dan Melawan Terorisme yang mengartikan terorisme sebagai kejahatan terhadap negara. Konvensi Eropa tentang Melawan Terorisme tahun 1977 menggeser makna terorisme yang semula dikategorikan pembunuhan dan percobaan pembunuhan kepala negara atau anggota keluarganya menjadi kejahatan terhadap kemanusiaan. Kejahatan ini masuk kelompok pelanggaran berat terhadap HAM (Gross Violation of Human Rights) karena ditujukan langsung terhadap warga sipil dan jiwa-jiwa tidak bersalah secara meluas dan sistematik, sebagaimana terjadi selama in di sejumlah wilayah di Indonesia.

Sebagai kebijakan dasar pemberantasan terorisme, UU No.15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sepatutnya segera diinterpretasi ke dalam kebijakan dan program-program yang sistematis dan komprehensif di tingkat pusat dan daerah. Program dengan hirarki tujuan jelas, asumsi-asumsi tepat sesuai keadaan masing-masing daerah, memakai indikator yang mudah diukur, dan dibatasi dengan rentang waktu yang masuk akal, termasuk membangun jaringan kerjasama tingkat regional ASEAN dan dunia.

Membangun kerangka kerja (logframe) melawan terorisme, undang-undang pemberantasan teroris telah menyediakan cara pandang (paradigma) , prinsip-prinsip, dan tujuan besar (goals). Paradigma yang dipakai sebagai panduan sikap: (1). Melindungi bangsa dan kedaulatan NKRI; (2). Melindungi hak asasi manusia korban dan saksi-saksi; dan (3). Melindungi hak asasi manusia pelaku terorisme. Sementara itu prinsip-prinsip secara jelas menuntun batas-batas tindakan boleh dan tidak boleh dilakukan aparat (pasal 3) dan non-diskriminasi,  seperti bunyi Pasal (2) berikut, ”… merupakan kebijakan dan langkah-langkah strategis untuk memperkuat ketertiban masyarakat, dan keselamatan masyarakat dengan tetap menjunjung tinggi hukum dan hak asasi manusia, tidak bersifat diskriminatif, baik berdasarkan suku, agama, ras, maupun antargolongan”.

Tinggallah lagi kini menurunkan tujuan-tujuan tingkat menengah (outcomes), tujuan-tujuan jangka pendek (outputs), dan sejumlah kegiatan berdasar keluaran yang hendak dicapai di tingkat pusat dan daerah. Berdasarkan pengalaman penanganan Peristiwa Bom Bali II tahun 2005, strategi dan metode melawan terorisme patut dipertimbangkan untuk direplikasi dengan modifikasi sana-sini berdasarkan bacaan kondisi terkini. Misalnya, koordinasi lintas instansi, lintas nasional, dan secara simultan melakukan langkah-langkah yang bersifat represif, preventif, preemptif, dan resosialisasi serta rehabilitasi.

Semenjak peledakan bom di Atrium Senen, Jakarta pada Desember 1998 sampai dengan Bom Bali II pada Oktober 2005 dan akhir-akhir ini ratusan orang tak berdosa tewas dan luka-luka akibat kejahatan gerakan terorisme. Kita sudah tak punya waktu lagi menunda-nunda mengembangkan sebuah program strategis melawan terorisme di tingkat pusat dan daerah untuk melawan aksi-aksi terorisme. Satu nyawa sudah terlalu banyak menjadi korban kejahatan berikutnya.



1.   Herizal E Arifin adalah Ketua Perhimpunan Sanggar: Jaringan Untuk Demokrasi, Hak-Hak Publik dan Keadilan Sosial.



Tidak ada komentar:

Talisman

"Saya akan memberikanmu talismanIngatlah wajah si paling miskin dan si paling lemah yang mungkin pernah kau temui, kemudian tanyakan pada dirimu sendiri, apakah langkah yang kamu rencanakan akan berguna baginya. Apakah dia akan memperoleh sesuatu dari langkah itu? Apakah itu akan membuat dia dapat mengatur kehidupan dan nasibnya sendiri? Maka akan kamu dapatkan keraguan itu hilang.” Mahatma Gandhi