Simak Statistik

Kamis, 07 Juli 2011

Hak Atas Perumahan yang Layak

SIDANG KEENAM KOMITE HAK EKONOMI, SOSIAL, DAN BUDAYA (1991)
KOMENTAR UMUM NO. 4: HAK ATAS PEMUKIMAN YANG LAYAK
(PASAL 11 (1) KOVENAN HAK EKONOMI, SOSIAL, DAN BUDAYA)
E/1992/23

*Apabila anda membutuhkan file ini, tinggal K l i k !


1. Menurut pasal 11 (1) Kovenan, Negara Pihak "mengakui hak setiap orang atas standar kehidupan yang layak untuk dirinya sendiri dan keluarganya, termasuk kecukupan pangan, sandang dan permukiman (perumahan), dan perbaikan kondisi hidup yang berkelanjutan.” Hak asasi atas permukiman layak, yang bersumber dari hak atas kehidupan yang layak, merupakan  hak yang penting untuk penikmatan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya.

2. Komite telah mengumpulkan banyak informasi yang berkaitan dengan hak ini. Sejak 1979, Komite dan badan pendahulunya telah mempelajari 75 laporan yang berkaitan dengan hak atas permukiman layak. Komite juga telah mencurahkan satu hari diskusi umum pembahasan permasalahan pada sidang ketiga (lihat E1989/22, par. 312) dan keempat (EI990/23, par. 281-285). Selain itu, Komite telah secara cermat mencatat informasi yang dihasilkan dari Tahun Internasional Permukiman untuk Tunawisma (1987) termasuk Strategi Global untuk Permukiman tahun 2000 yang telah diadopsi  Sidang Umum dalam resolusi 42/191 tertanggal 11 December 1987.1 Komite juga telah meninjau berbagai laporan yang relevan dan dokumentasi lain dari Komisi Hak Asasi Manusia dan Sub-Komisi Pencegahan Diskriminasi dan Perlindungan terhadap Kelompok-kelompok Minoritas.2

3. Meskipun berbagai instrumen internasional sudah menyorot dimensi yang berbeda-beda pada hak atas permukiman layak,3 pasal 11 (1) Kovenan merupakan instrumen yang paling menyeluruh dan mungkin paling penting di antara ketentuan-ketentuan lain yang relevan.

4. Meskipun masyarakat internasional telah sering menegaskan pentingnya penghormatan penuh atas hak permukiman layak, masih terdapat kesenjangan lebar yang mengkhawatirkan antara standar yang ditetapkan dalam pasal 11 (1) Kovenan dengan situasi memprihatinkan yang terjadi di berbagai belahan dunia. Meskipun persoalan ini kerap bersifat mendesak khususnya di negara sedang-berkembang yang menghadapi persoalan sumberdaya dan kendala lainnya, namun Komite mengamati bahwa persoalan ketunawismaan dan permukiman yang tidak layak juga nyata terjadi pada sejumlah besar masyarakat ekonomi maju. Perserikatan Bangsa-bangsa memperkirakan terdapat 100 juta tunawisma di seluruh dunia dan lebih dari satu milyar orang tinggal di tempat yang tidak layak.4 Tidak ada tanda-tanda angka ini mengalami penurunan. Tampak jelas bahwa tidak ada satu pun Negara pihak yang terbebas dari berbagai jenis persoalan nyata terkait dengan hak atas permukiman.

5. Pada  sejumlah contoh, laporan-laporan Negara Pihak yang diperiksa oleh Komite telah menyebutkan dan menjabarkan kesukaran-kesukaran untuk menjamin hak atas permukiman layak. Namun demikian, pada sebagian besar laporan, informasi yang tersedia tidak cukup memampukan Komite untuk memperoleh gambaran memadai tentang kemerosotan situasi di Negara terkait. Oleh karena itu, sasaran dari komentar umum ini adalah untuk mengenali sebagian dari masalah utama yang oleh Komite dipandang penting mengenai hak ini.

6. Hak atas permukiman layak berlaku untuk semua orang. Meskipun rujukan atas kata “dirinya (laki-laki) sendiri dan keluarganya” mencerminkan pandangan tentang peran gender dan pola kegiatan ekonomi yang lazim dipahami pada tahun 1966 saat Kovenan ini disepakati, frasa tersebut saat ini tidak boleh dimaknai sebagai isyarat adanya pembatasan penerapan hak tersebut bagi individu atau perempuan kepala rumah tangga atau kelompok sejenisnya. Maka, konsep “keluarga” harus dipahami secara luas. Selanjutnya, individu-individu, seperti halnya keluarga, berhak atas permukiman layak tanpa memandang umur, status ekonomi, kelompok atau afiliasi lainnya, dan faktor lain semacamnya. Khususnya, penikmatan atas hak ini harus berkesesuaian dengan pasal 2 (2) Kovenan, tak dihambat oleh diskriminasi bentuk apapun.

7. Dalam pandangan Komite, hak atas permukiman tidak boleh dimaknai sempit atau terbatas yang menyamakannya dengan, contoh, semata-mata tempat berteduh dengan atap di atas kepala atau memandang tempat berlindung hanya sebagai barang perniagaan saja. Namun hak atas permukiman hendaknya dilihat sebagai hak untuk hidup di manapun dengan aman, damai, dan bermartabat. Pandangan ini adalah layak karena dua alasan. Pertama, hak atas permukiman secara utuh berhubungan dengan hak asasi yang lain dan merupakan prinsip utama yang mendasari Kovenan. Dengan ”martabat yang melekat pada diri manusia” sebagai sumber dari hak-hak yang dinyatakan dalam Kovenan, maka kata “permukiman” perlu dimaknai dengan menyertakan sejumlah pertimbangan, terutama pertimbangan bahwa hak atas permukiman harus dijamin untuk semua orang tanpa memandang pendapatan atau akses orang tersebut terhadap sumberdaya ekonomi. Kedua, pernyataan pada pasal 11 (1) harus dipahami bukan merujuk pada sekedar rumah melainkan permukiman layak. Seperti dinyatakan baik oleh Komisi untuk Permukiman Manusia dan Strategi Global untuk Permukiman tahun 2000;  “Tempat berlindung yang layak berarti tersedianya privasi yang layak, ruang yang cukup, keamanan, cukup cahaya dan saluran udara (ventilasi), prasarana dasar dan lokasi yang mempertimbangkan tempat bekerja dan fasilitas lainnya – keseluruhannya dengan biaya yang masuk akal.

8. Maka demikian, konsep kelayakan khususnya penting dalam kaitannya dengan hak atas permukiman karena konsep itu menggarisbawahi sejumlah faktor yang harus dipertimbangkan untuk menentukan apakah suatu tempat berlindung dapat dianggap sebagai “pemukiman layak” sebagaimana dimaksudkan oleh Kovenan. Walaupun kelayakan sebagian ditentukan oleh faktor sosial, ekonomi, budaya, iklim, ekologi, dan faktor lainnya, Komite meyakini bahwa adalah mungkin untuk melakukan identifikasi aspek-aspek tertentu dari hak yang harus dipertimbangkan untuk mencapai tujuan yang sama pada berbagai konteks khusus. Faktor-faktor tersebut mencakup:


(a). Jaminan hukum untuk menghuni. Menghuni tempat dapat dilakukan melalui berbagai macam cara, termasuk dengan cara sewa tempat tinggal (publik dan swasta), perumahan kooperatif, cicil-pakai, memilikinya, menempati penampungan darurat atau pemukiman informal, juga dengan menguasai tanah dan properti. Apapun cara yang digunakan, bagi setiap orang harus tersedia suatu tingkat perlindungan hukum untuk menghuni,  yang melindungi mereka dari ancaman pengusiran paksa, pelecehan, dan ancaman lainnya. Karena itu negara pihak harus mengambil tindakan segera untuk memberikan jaminan hukum untuk menghuni bagi orang atau rumahtangga yang tidak memiliki perlindungan tersebut, melalui perundingan yang jujur dengan orang atau kelompok yang mengalaminya. 


(b). Ketersediaan layanan, bahan, fasilitas, dan prasarana dasar. Permukiman yang layak harus dilengkapi fasilitas tertentu yang diperlukan bagi kesehatan, keselamatan, kenyamanan, dan pangan gizi. Semua penerima manfaat dari hak atas permukiman layak harus memiliki akses yang berkelanjutan terhadap sumberdaya alam dan sumber milik bersama, air layak minum, bahan bakar untuk memasak, pemanasan dan pencahayaan, fasilitas sanitasi dan cuci, tempat menyimpan makanan, pembuangan sampah, saluran air, dan layanan darurat.

(c).    Keterjangkauan. Biaya pengeluaran perorangan atau rumah tangga untuk permukiman hendaknya berada di suatu tingkat tertentu agar pencapaian dan pemenuhan kebutuhan dasar lainnya tidak terancam atau terkorbankan. Langkah-langkah perlu ditempuh oleh Negara Pihak untuk memastikan bahwa persentasi biaya yang berhubungan dengan permukiman, secara umum sepadan dengan tingkat pendapatan. Negara Pihak harus menyediakan subsidi bagi mereka yang tidak mampu menjangkau harga rumah sederhana, juga menyediakan berbagai macam bentuk dan tingkat pembiayaan yang mengimbangi besarnya kebutuhan akan permukiman. Mematuhi prinsip keterjangkauan tersebut, harus tersedia cara yang tepat untuk melindungi penyewa dari  tingkat harga sewa atau kenaikan uang harga sewa yang tidak masuk akal. Pada masyarakat dimana bahan alam merupakan bahan baku utama untuk membangun rumah, Negara Pihak harus mengambil langkah-langkah untuk memastikan ketersediaan bahan baku tersebut.


(d). Layak huni. Permukiman layak haruslah layak huni, dalam arti cukup lapang dan dapat melindungi penghuninya dari cuaca dingin, lembab, panas,  hujan, angin atau ancaman-ancaman bagi kesehatan, bahaya yang berasal dari struktur bangunan, dan pembawa penyakit. Keamanan fisik penghuni harus pula terjamin. Komite mendorong Negara Pihak untuk menerapkan secara menyeluruh Prinsip Rumah Sehat5 dari WHO yang menunjuk permukiman sebagai faktor lingkungan yang paling sering berkaitan dengan kondisi sakit,  berdasarkan analisis epidemiologi; tempat tinggal dan kondisi kehidupan yang tidak layak dan berkekurangan selalu berkaitan dengan tingginya tingkat kematian dan kondisi sakit.


(e).   Aksesibilitas. Permukiman layak harus dapat diakses oleh semua orang yang berhak atasnya. Kelompok-kelompok yang tidak diuntungkan seperti orang lanjut usia, anak, penderita cacat fisik, penderita penyakit gawat, penderita HIV-positif, penderita sakit menahun, penderita cacat mental, korban bencana alam, penduduk wilayah rawan bencana, dan lain-lain harus dipastikan memperoleh pertimbangan prioritas dalam hal permukiman. Baik undang-undang dan kebijakan di bidang permukiman hendaknya memikirkan kebutuhan khusus permukiman dari kelompok-kelompok ini. Pada  banyak Negara Pihak, perluasan akses terhadap tanah bagi kalangan masyarakat yang tidak bertanah dan termiskinkan menjadi tujuan kebijakan yang terpenting. Kewajiban-kewajiban pemerintah harus dikembangkan  dengan sasaran untuk memperkuat hak setiap orang atas hunian yang aman untuk hidup secara damai dan bermartabat, termasuk akses tanah sebagai sebuah hak;


(f).   Lokasi. Tempat tinggal yang layak harus berada di lokasi yang memberikan akses terhadap pilihan pekerjaan, layanan kesehatan, sekolah, pusat pengasuhan anak dan fasilitas sosial lainnya. Hal ini berlaku baik di kota besar maupun kawasan pinggiran dimana tuntutan beban temporer dan finansial untuk menuju dan dari tempat bekerja dapat sangat memberatkan anggaran belanja keluarga miskin. Di samping itu, permukiman hendaknya tidak didirikan di lokasi yang telah tercemar atau berdekatan dengan sumber pencemaran yang mengancam hak untuk hidup sehat penghuninya.

(g). Kelayakan budaya. Cara mendirikan rumah, bahan bangunan yang digunakan, dan kebijakan-kebijakan yang mendukung kedua unsur tersebut harus memungkinkan pernyataan identitas budaya dan keberagaman permukiman. Berbagai aktivitas yang dirujukan untuk mendorong pembangunan dan modernisasi di bidang permukiman harus memastikan bahwa dimensi budaya dari permukiman tidak dikorbankan, dan bahwa, diantaranya, fasilitas berteknologi modern dilengkapkan dengan semestinya.

9. Sebagaimana tercantum di atas, hak atas permukiman layak tidak boleh dipandang terpisah dari hak asasi lain yang tercantum dalam dua Kovenan Internasional dan instrumen-instrumen internasional lainnya. Rujukan mengenai konsep martabat manusia dan prinsip-prinsip non-diskriminasi tersebut telah disusun. Selain itu, penikmatan penuh atas hak-hak lainnya—seperti hak untuk berekspresi, hak untuk berserikat (misalnya, pada kelompok penyewa dan kelompok-kelompok berbasis komunitas lainnya), hak untuk bebas menentukan tempat menetap, dan hak untuk terlibat dalam pengambilan keputusan publik—sangat diperlukan agar hak atas permukiman layak dapat diwujudkan dan dipertahankan oleh seluruh kelompok masyarakat. Demikian halnya dengan hak untuk tidak mendapatkan perlakuan sewenang-wenang atau di luar hukum yang melanggar privasi seseorang, keluarga, rumah, atau korespondensi, kesemuanya merupakan dimensi paling penting menyangkut hak atas permukiman layak.

10. Tanpa memandang tingkat perkembangan pembangunan suatu negara, terdapat langkah-langkah yang seketika harus ditempuh. Sebagaimana dibahas dalam Strategi Global untuk Permukiman dan analisis internasional lainnya, banyak hal dapat dicapai untuk memajukan hak atas permukiman yang hanya mensyaratkan Pemerintah untuk menahan diri dan membiarkan praktek-praktek dan komitmen tertentu dari kelompok yang membutuhkan untuk memperkuat “keswadayaan”. Bagi kelompok-kelompok yang terpengaruh. Apabila langkah-langkah semacam itu dinilai melampaui batas maksimum ketersediaan sumberdaya, selayaknya untuk sesegera mungkin memintakan kerjasama internasional sebagaimana menurut pasal 11 (1), 22, dan 23 Kovenan, dan hal ini untuk diinformasikan kepada Komite.

11. Negara Pihak harus mendahulukan kelompok masyarakat yang hidup dalam kondisi yang memprihatinkan dengan memberi mereka perhatian khusus. Dengan demikian kebijakan dan undang-undang hendaknya tidak dirancang demi keuntungan kelompok masyarakat yang telah mapan dengan mengorbankan kelompok lainnya. Komite menyadari bahwa faktor-faktor eksternal dapat mempengaruhi hak untuk memperbaiki kondisi hidup secara berkelanjutan, dan bahwa di banyak Negara Pihak kondisi kehidupan secara keseluruhan terus memburuk sepanjang tahun 1980-an. Walau demikian, sebagaimana dicatatkan Komite dalam komentar umum No. 2 (1990) (E/1990/23, lamp. III), meskipun terdapat masalah-masalah yang disebabkan oleh tekanan eksternal, kewajiban yang tercantum dalam Kovenan tetap berlaku dan bahkan mungkin menjadi jauh lebih relevan pada masa kelesuan ekonomi. Di mata Komite, merosotnya kondisi kehidupan dan permukiman berhubungan dengan kebijakan dan undang-undang yang dihasilkan Negara-negara Pihak, maka tiadanya tindakan-tindakan pertolongan yang menyertainya, maka hal itu akan tidak sejalan dengan kewajiban-kewajiban menurut Kovenan.

12. Walaupun cara yang paling sesuai untuk mencapai perwujudan penuh hak atas permukiman layak tentunya akan berbeda nyata antara satu negara dengan negara-pihak lain, Kovenan dengan jelas mensyaratkan tiap Negara Pihak untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mencapai tujuan. Hampir dapat dipastikan diperlukan suatu strategi nasional permukiman yang, sebagaimana tercantum dalam paragraf 32 Strategi Global untuk Permukiman, “merumuskan sasaran-sasaran untuk peningkatan kondisi permukiman, mengidentifikasi sumberdaya yang tersedia untuk mencapai sasaran dan cara pemanfaatannya yang paling efektif, dan menetapkan tanggungjawab dan kerangka waktu pelaksanaan dari langkah-langkah yang diperlukan tersebut.” Baik untuk alasan relevansi maupun efektivitas, juga untuk memastikan penghormatan atas hak asasi lainnya, strategi tersebut harus mencerminkan konsultansi jujur yang seluasnya, dan partisipasi dari mereka yang berkepentingan termasuk kaum tuna wisma, mereka yang tinggal di tempat tidak layak serta perwakilannya. Harus pula diambil langkah-langkah untuk memastikan adanya koordinasi antara berbagai kementerian dan pemerintah daerah dan pejabat setempat guna menyelaraskan kebijakan-kebijakan terkait (di bidang ekonomi, pertanian, lingkungan hidup, energi, dsb.) dengan kewajiban-kewajiban di bawah pasal 11 dari Kovenan.

13. Pemantauan efektif terhadap situasi permukiman merupakan kewajiban lain yang harus dilaksanakan seketika. Untuk memenuhi kewajiban menurut pasal 11 (1) Negara pihak harus memperlihatkan bahwa langkah-langkah perlu telah diambil, baik sendiri maupun berlandaskan kerjasama internasional, untuk memastikan gambaran tentang kondisi ketunawismaan dan ketidaklayakan permukiman di wilayah hukumnya. Menyangkut hal tersebut, pedoman umum yang disempurnakan,  yang telah disetujui Komite (E/C.12/1991/1), tentang bentuk dan isi laporan menekankan pentingnya “menyertakan informasi rinci mengenai kelompok-kelompok dalam tersebut dalam masyarakat yang rentan dan tidak diuntungkan dalam hal permukiman (perumahan)”. Termasuk, khususnya, perorangan atau keluarga tunawisma, penghuni permukiman yang tidak layak dan tidak memiliki akses yang mudah terhadap kebutuhan-kebutuhan dasar, penghuni “liar”, korban pengusiran paksa, dan kelompok berpendapatan rendah.

14. Langkah yang dirancang untuk memenuhi kewajiban Negara Pihak menyangkut hak atas permukiman layak dapat mencerminkan perpaduan apapun yang dianggap tepat antara peran sektor publik dan swasta. Di sejumlah negara, pembiayaan publik untuk permukiman paling tepat jika dibelanjakan langsung untuk membangun permukiman baru, namun pengalaman menunjukkan, pada kebanyakan contoh, pemerintah tidak sepenuhnya mampu menutup kekurangan akan permukiman melalui pembangunan permukiman melalui dana publik. Maka dari itu, Negara pihak dianjurkan untuk mendorong suatu “strategi untuk memampukan,” yang disertai dengan komitmen penuh terhadap kewajiban-kewajiban untuk memenuhi hak atas permukiman layak. Pada intinya, merupakan kewajiban dari Negara pihak untuk memperlihatkan bahwa, secara keseluruhan, telah diambil cukup langkah untuk mewujudkan hak setiap orang dengan sesegera mungkin sebanyak sumberdaya yang tersedia.

15. Beberapa langkah yang kemudian perlu diambil niscaya bersangkut-paut dengan alokasi sumberdaya dan prakarsa kebijakan secara umum. Peran dari upaya legislatif dan administratif formal tidak boleh diabaikan dalam konteks ini. Strategi Global untuk Permukiman (par. 66-67) memberikan penekanan  jenis-jenis upaya yang dapat ditempuh menyangkut hal di atas serta makna penting dari upaya-upaya tersebut.

16. Di sejumlah Negara, hak atas permukiman layak dilindungi konstitusi. Pada contoh tersebut, Komite terutama berminat mempelajari makna hukum dan praktis dari pendekatan sejenis ini. Karena itu, rincian tentang kasus-kasus tertentu dan cara-cara perlindungan lain yang terbukti bermanfaat hendaknya tersedia.

17. Komite melihat bahwa banyak unsur bagian pembentuk dari hak atas permukiman layak sekurang-kurangnya konsisten dengan cara-cara pemulihan yang disediakan ketentuan-ketentuan hukum dalam negeri. Dengan memperhatikan sistem hukum yang berlaku, bagian-bagian dari pemulihan tersebut dapat meliputi, namun tidak terbatas pada: (a) gugatan hukum yang dilayangkan untuk mencegah rencana pengusiran atau penghancuran permukiman dengan memintakan pembatalan atas perintah pengadilan; (b) prosedur hukum untuk menuntut ganti rugi atas pengusiran yang tidak sah; (c) pengaduan terhadap tindakan tidak sah yang dilakukan atau didukung oleh pemilik permukiman sewa (baik pemerintah maupun swasta) dengan dalih biaya sewa, perawatan bangunan, dan alasan rasial atau segala bentuk diskriminasi lainnya; (d) tuntutan terhadap segala bentuk diskriminasi dalam alokasi dan penyediaan akses terhadap permukiman; (e) keluhan terhadap pemilik rumah sewa berkaitan dengan kondisi permukiman yang tidak sehat dan tidak layak huni. Dalam beberapa sistem hukum, juga pada tempatnya untuk menjajaki kemungkinan menggunakan gugatan perwakilan (class-action) ketika jumlah tunawisma bertambah secara nyata.

18. Menyangkut hal tersebut, Komite menilai pengusiran paksa sebagai contoh kejadian  yang tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam Kovenan dan hanya dapat dibenarkan dalam keadaan-keadaan yang paling luar-biasa, dan harus mematuhi prinsip yang relevan dari hukum internasional.

19. Terakhir, pasal 11(1) menekankan kewajiban Negara Pihak untuk memafhumi “pentingnya kerjasama internasional yang berlandaskan pada kesukarelaan.” Lazimnya, dari seluruh bantuan internasional, kurang dari 5 persen ditujukan bagi permukiman dan hunian manusia, tambahan lagi melihat sifat dari pendanaan tersebut,  sedikit saja yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan permukiman kelompok yang tidak diuntungkan. Negara pihak, baik penerima maupun pemberi bantuan, harus memastikan adanya sejumlah bantuan yang disisihkan guna mendorong kondisi yang akan meningkatkan jumlah orang yang menikmati permukiman layak. Lembaga-lembaga keuangan internasional yang mendorong upaya penyesuaian struktural harus memastikan bahwa penyesuaian struktural tersebut tidak mengorbankan penikmatan atas hak atas permukiman layak. Negara pihak, ketika mempertimbangkan kerjasama  keuangan internasional, harus menunjuk bagian-bagian relevan menyangkut hak atas permukiman layak, yang diharapkan akan membuahkan hasil melalui pendanaan dari luar. Permintaan tersebut harus sepenuhnya mempertimbangkan berbagai kebutuhan dan pandangan kelompok-kelompok yang membutuhkan.

Catatan Kaki
[1] Catatan Resmi Sidang Umum, Sidang ke Empatpuluh tiga, Lembar tambahan No.8, lampiran (A/43/8/ Lamp.l).
2 Komisi Hak Asasi Manusia resolusi 1986/36 dan 1987/22; laporan oleh Mr. Danilo Turk, Pelapor Khusus Sub-Komisi {E/CN.4/Sub.2/1990/19, par.108- 120; E/CN.4/Sub.2/1991/17, par. 137- 139); baca juga Sub-Komisi resolusi 1991/26.
3 Untuk contoh, baca pasal 25 {1) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, pasal 5 {e) {iii) Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, pasal 14 {2) Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, pasal 27 {3) Konvensi Hak Anak, pasal 10 Deklarasi Kemajuan dan Pembangunan Sosial, bagian 111 {8) dari Deklarasi Permukiman Manusia di Vancouver, 1976 {Diambil dari Habitat: Konferensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Permukiman.  {Publikasi PBB, Sales No. E. 76.1V .7 dan corrigendum, bab. 1), pasal 8 { 1) Deklarasi hak atas Pembangunan dan dan Rekomendasi ILO tentang Permukiman bagi Buruh, 1961 {No.115).
4 Lihat catatan 1.
5 Jenewa, Organisasi Kesehatan Dunia, 1990.

Tidak ada komentar:

Talisman

"Saya akan memberikanmu talismanIngatlah wajah si paling miskin dan si paling lemah yang mungkin pernah kau temui, kemudian tanyakan pada dirimu sendiri, apakah langkah yang kamu rencanakan akan berguna baginya. Apakah dia akan memperoleh sesuatu dari langkah itu? Apakah itu akan membuat dia dapat mengatur kehidupan dan nasibnya sendiri? Maka akan kamu dapatkan keraguan itu hilang.” Mahatma Gandhi