Simak Statistik

Kamis, 07 Juli 2011

Trotoar Kota Bandung Tak Nyaman

Dikirim oleh Tiana Ratnawati
Penulis adalah ibu rumah tangga. Dulu bekerja di sebuah LSM di kota Bandung yang menangani dan mengusai media pengembangan masyarakat dan Participatory Rural Appraisal (PRA). Pernah belajar media komunikasi di Silang, Cavite, Philipines dan pernah sekolah pada Jurusan Antropologi Universitas Padjadjaran, Bandung.


Terjebak dalam kemacetan adalah hal yang amat menyebalkan. Apalagi jika kita sedang terburu-buru, naik kendaraan pribadi atau angkutan umum rasa stresnya sama saja. Selain waktu yang terbuang, hampir separuh tenaga kita pun ikut tersita karena menahan beban kendaraan yang sedang kita tumpangi, tak terkecuali penumpang angkot yang terguncang-guncang karena sang supir menginjak pedal rem bekali-kali. Sungguh melelahkan. Akibatnya, ketika sampai di tempat tujuan tubuh kita sudah tak segar lagi. Untuk memulai aktivitas kita perlu waktu beberapa saat guna memulihkan kondisi tubuh. Jadinya waktu kerja akan sedikit molor.  

Kemacetan kini sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari warga Bandung. Ada banyak faktor yang dituding sebagai penyebab kemacetan tesebut. Jumlah kendaraan yang terus bertambah, kondisi jalan yang buruk, pengendara yang tidak disiplin, dan banyak lagi faktor lainnya.  Bahkan pejalan kaki pun ikut dituding sebagai salah satu penyebab semrawutnya lalu lintas Kota Bandung.

Mungkin ada benarnya juga kalau para pejalan kaki termasuk yang dituding. Kalau kita perhatikan, banyak pejalan kaki memilih berlenggang kaki di jalanan raya ketimbang di trotoar. Mereka berdesak-desakan dengan kendaraan umum maupun pribadi mulai yang beroda dua sampai beroda banyak. Dari yang bertenaga mesin hingga bertenaga makhluk. Bukan tanpa alasan mereka melakukan pilihan ini.


Hak para pedestrian
Memang hak dan tanggung jawab para pejalan kaki sebenarnya telah diatur dalam pasal 131 dan 132 UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pasal 131 menyebutkan bahwa pejalan kaki berhak atas ketersediaan fasilitas pendukung berupa trotoar. Pasal 132 menuntut kepatuhan pejalan kaki untuk berjalan di bagian jalan yang memang  diperuntukkan bagi pejalan kaki. Pasal ini juga mengamanatkan pejalan kaki menyeberang di tempat yang sudah disediakan.

Namun Trotoar yang ada di Bandung tidak ramah pada pejalan kaki. Kondisinya rusak, berlubang, bahkan sulit dilalui karena dipenuhi pedagang kaki lima (PKL) yang membuat orang tidak nyaman berjalan. Jalanan trotoar yang tidak lurus dan terpotong-potong juga membuat pejalan enggan berjalan di trotoar. Kondisi ini sangat menyiksa bagi kaum manula dan ibu hamil. Pejalan harus naik turun karena trotoar yang posisinya lebih tinggi dari badan jalan, dipotong oleh pemilik rumah yang memiliki kendaraan, alih-alih membuat jalan landai untuk memudahkan kendaraannya masuk ke halaman rumah. Begitupun di gedung perkantoran, hotel, dan pusat-pusat perbelanjaan umumnya trotoar dipotong agar kendaraan bisa keluar masuk dengan lancar. Trotoar pada akhirnya lebih sebagai hiasan asal ada saja ketimbang untuk kenyamanan para pedestrian.

Seorang perempuan sedang melahirkan di trotoar
Trotoar yang ada bukan saja tidak nyaman tapi juga tidak aman bagi penjalan kaki. Kecelakaan akibat trotoar yang bolong  sudah sering kali terjadi dan diberitakan. Beberapa waktu lalu media massa sempat mengabarkan tentang anak balita yang terperosok di trotoar yang bolong, sang ibu yang tengah hamil tak kuasa menarik lengan sang buah hati. Arus  deras di bawah trotoar menghanyutkan sang balita,  baru dua hari kemudian jenazahnya ditemukan. Tragis! 

Mengapa tidak nyaman dan aman? Sebagai orang yang kerap melintasi trotoar, menurut saya ada beberapa kemungkinan penyebab. Kita pasti teringat ketika banyak trotoar di beberapa jalan utama (diantaranya Jl. Surapati dan Ahmad Yani) dibongkar karena PLN hendak memperbaiki jaringan listrik. Setelah perbaikan selesai, trotoar pun dibangun kembali. Selang beberapa minggu kemudian trotoar dibongkar lagi karena PDAM melakukan perbaikan pipa air. Bongkar pasang pun terus berlanjut ketika pihak Bina Marga melakukan pelebaran jalan. Pembongkaran berulang-ulang menyebabkan struktur tanah rusak, ditambah kualitas bahan yang buruk dan pengerjaan yang asal-asalan, membuat trotoar mudah rusak.

Berjalan di trotoar lebar dan bersih yang memanjakan para pejalan kaki seperti di luar negeri masih merupakan mimpi bagi kita. Saat ini banyak trotoar sempit yang diisi Pedagang Kaki Lima (PKL) di dua sisinya (sisi pinggir jalan dan sisi yang menempel ke bangunan) seperti trotoar di Jalan Ahmad Yani, Garut (4/3). Kondisinya diperburuk lagi oleh pot bunga besar yang rusak dan motor yang parkir sembarangan. Milik siapakah trotoar ini?


Coba kita cermati pilihan pohon-pohon yang ditanam di sisi trotoar. Ada pohon yang tinggi dan rindang, nyaman untuk berteduh. Namun akarnya menjalar kemana-mana. Beberapa pohon bahkan akarnya  digunakan sebagai tempat duduk oleh PKL. Bila angin bertiup daunnya berguguran menutupi jalan dan parit kecil di pinggir jalan.

Pemilihan jenis pohon peneduh jalan yang tidak tepat pun bisa jadi salah satu penyebab rusaknya trotoar. Dalam buku superhebatnya “Semerbak Bunga di Bandung Raya”, Haryoto Kunto menulis, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh pepohonan yang akan dijadikan peneduh jalanan. Buahnya tidak boleh besar, karena bisa menimpa manusia atau kendaraan yang lewat dibawahnya. Daun yang berguguran tidak boleh terlau banyak sehingga menyumbat selokan dan mengotori jalan. Syarat lainnya, masih dalam buku yang sama, beliau menulis bahwa batang kayu, ranting, dan cabang pohon peneduh harus kuat liat serta tidak mudah patah diterpa angin kencang. Sedangkan petumbuhan akarnya, tak boleh terlampau cepat dan menjalar kian kemari sehingga merusak “berm” (tanggul) pinggiran jalan.

Syarat seperti itu sebenarnya sudah dipenuhi di beberapa ruas jalan utama, seperti di jalan Ir.H. Juanda di daerah Dago, Dipenogoro, Padjadjaran, Pasteur dan beberapa jalan lainya. Sayangnya, pohon-pohon itu sebagian besar sudah ditebang dan diganti.

Pohon pengganti ini berbeda dengan pendahulunya.  Beberapa syarat tidak tepenuhi. Salah satunya pohon berakar panjang dan menjalar keluar. Sering kita temukan trotoar yang terbelah atau terangkat akar pohon sehingga ada rongga menganga lumayan lebar, yang mampu menenggelamkan tubuh seorang anak balita. Di sepanjang jalan Suci (Surapati-Cicaheum) banyak kita jumpai pohon Kersen dan Flamboyan. Pohon-pohon ini memang cepat pertumbuhannya, mudah dirawat, dan sangat rindang. Malangnya, akar pohon menjalar dan sampah daunnya sangat banyak, sehingga menyumbat saluran pembuangan air hujan.

Berbagai upaya perbaikan sudah dicoba oleh Pemkot, tapi hasilnya belum maksimal. Dalam sebuah situs internet, Haryo Winarso, peneliti senior Laboratorium Desain Urban, Dept.Planologi ITB, menuturkan bahwa ketidakselarasan trotoar dengan lingkungan terjadi karena penataan kota yang tidak utuh. Perubahan fungsi kawasan seharusnya diikuti dengan perubahan fasilitas umum. Contoh sekitar jalan Riau dan Dago, semula daerah pemukiman, sekarang kawasan perdagangan. Desain trotoar jadi tidak selaras dengan lingkungan.  Untuk kawasan pemukiman lebar trotoar 1 – 1,5 meter sudah cukup. Tapi untuk kawasan perdagangan paling sedikit berlebar 3 meter telah memadai.

Tahun 1990 Dirjen Bina Marga sudah menentukan lebar efektif trotoar adalah 1,2 meter. Jalan selebar ini hanya cukup untuk pejalan kaki, padahal sulit rasanya kita temukan trotoar tanpa kehadiran pedagang kaki lima. Di beberapa taman dan pusat perbelanjaan dibangun trotoar dengan desain yang indah dan nyaman. Kenyamanan berjalan-jalan disini biasanya tidak berlangsung lama, pejalan kaki lagi-lagi berebutan dengan pedagang kaki ima. Tambah lagi, ada taman tapi dipagari, untuk kita berjalan-jalan menikmatinya harus mengeluarkan sejumlah uang, bahkan ada pula yang tanpa pintu masuk. Semakin berkuranglah hak pejalan kaki.

Mempertimbangkan kelompok difabel
Di beberapa negara, misalnya Amerika Serikat, Jepang dan negara-negara Eropa aturan mengenai trotoar juga mempertimbangkan para difabel (different ability)—dalam istilah bahasa Indonesia sering disebut penyandang cacat atau tuna. Trotoar yang terpotong jalan harus diberi jalan landai pada ujung jalannya. Ini memudahkan para pegguna kursi roda lalu-lalang.

Peraturan ini tidak hanya memberi keuntungan bagi para difabel, ujung jalan landai juga memudahkan kaum ibu berjalan-jalan sambil  membawa kereta bayi, para manula, ibu hamil, anak-anak, bahkan para pelancong yang membawa tas besar beroda. Di Indonesia, Yogyakarta sudah mulai menerapkan gagasan cemerlang tersebut di sebagian sudut kota, begitu juga beberapa pusat perbelajaan mewah di Jakarta.

Apabila Yogyakarta dan Jakarta, mungkin juga kota lain, sudah membangun sebagian trotoar yang nyaman, pejabat Kota Bandung baiknya juga memikirkan membangun trotoar yang ramah; nyaman dan aman bagi pedestrian, disamping pembuatan trek penunggang sepeda yang telah menyita ruas jalan utama. Dengan begitu, para pejalan kaki tidak memberi sumbangan kemacetan sehingga Kota Bandung memang masih pantas menyebut dirinya sebagai Kota Kembang dan tentunya bersih, indah, dan berbunga.

Tidak ada komentar:

Talisman

"Saya akan memberikanmu talismanIngatlah wajah si paling miskin dan si paling lemah yang mungkin pernah kau temui, kemudian tanyakan pada dirimu sendiri, apakah langkah yang kamu rencanakan akan berguna baginya. Apakah dia akan memperoleh sesuatu dari langkah itu? Apakah itu akan membuat dia dapat mengatur kehidupan dan nasibnya sendiri? Maka akan kamu dapatkan keraguan itu hilang.” Mahatma Gandhi