Oleh R. Herlambang Perdana Wiratraman. Pernah aktif di LBH Surabaya
Since 2003, has joined at Constitutional Law Department, Faculty of Law, Airlangga University, Surabaya. In this faculty, he teaches two courses: Constitutional Law and Human Rights. Also, for graduate student, he teaches Comparative Law.
He holds Bachelor of Law (SH) from Faculty of Law, Airlangga University (1998) and Master of Arts (MA) Human Rights from Faculty of Graduate Studies, Mahidol University, Thailand (2006). And in 2008, he joined Van Vollenhoven Institute, Departement Metajuridica, Faculteit der Rechtsgeleerdheid, Universiteit Leiden, as PhD fellow in Law.
He is currently doing dissertation research on Freedom of Expression: A Socio-Legal Research on Press Freedom in Indonesia.
He holds Bachelor of Law (SH) from Faculty of Law, Airlangga University (1998) and Master of Arts (MA) Human Rights from Faculty of Graduate Studies, Mahidol University, Thailand (2006). And in 2008, he joined Van Vollenhoven Institute, Departement Metajuridica, Faculteit der Rechtsgeleerdheid, Universiteit Leiden, as PhD fellow in Law.
He is currently doing dissertation research on Freedom of Expression: A Socio-Legal Research on Press Freedom in Indonesia.
Krisis finansial yang terjadi pada 1997an di Asia Timur dan Tenggara, telah mendorong adanya suatu perubahan besar secara politik, ekonomi dan hukum, termasuk salah satunya di Indonesia yang mengakibatkan rezim otoritarian militer Orde Baru, Soeharto, tumbang di tahun 1998. Pasca krisis, konfigurasi politik, ekonomi dan hukum sedikit mengalami perubahan dari model-model diktatorial menjadi model yang lebih demokratis. Hal ini secara klasikal diukur dari terselenggaranya Pemilu yang lebih baik daripada masa sebelumnya, mulai muncul kekuatan nyata check and balance dalam politik kekuasaan negara, desentralisasi atau otonomi, serta terbukanya sedikit kebebasan berpendapat, berorganisasi, dan berpolitik.
Salah satu yang cukup penting dalam proses perubahan ini adalah soal ketatapemerintahan (governance), yang menyangkut hasrat besar reformasi untuk memberantas korupsi, mafia peradilan, dan penyalahgunaan kekuasaan. Secara nyata, ’good governance’ tiba-tiba muncul dan melesat bak meteor dari langit jatuh ke suasana kekuasaan politik transisi di negara-negara dunia ketiga, yang tiba-tiba menjadi mantra baru nan indah untuk diucapkan secara berulang-ulang (baca: latah), terstruktur dan tersistematisasi.
Dalam konteks Indonesia yang bergeliat dengan tuntutan reformasi, good governance tampil sebagai model tranplantif baru yang diyakini mampu mengobati birokrasi politik yang dinilai sarat korupsi, suap, dan penyalahgunaan kekuasan, termasuk berbagai pelanggaran hak-hak asasi manusia. Aparat birokrasi negara, dari Presiden di pucuk pimpinan negara hingga pemerintahan paling bawah, seragam mendendangkan good governance. Di level aktor-aktor non-negara pun tidak kalah, agenda organisasi non-pemerintah pun bicara banyak soal good governance, dan menjadikannya program kerja yang signifikan pada pasca 1998. Tidak begitu mengherankan program-program antikorupsi, pengawasan terhadap pemerintah maupun otonomi daerah, pengawasan peradilan, dan lain sebagainya. Begitupun para akademisi, lembaga ataupun negara donor, dan aktor-aktor lainnya berbincang hal yang sama soal pentingnya good governance.
Uniknya, lebih dari sewindu reformasi berjalan sejak 1998, korupsi bukannya berkurang melainkan semakin menggurita. Birokrasi masih belum banyak berubah, dari mentalitas pelayanan yang buruk dan inefisien, praktek suap menyuap masih subur, dan berbagai pelanggaran hak-hak asasi manusia masih banyak terjadi. Intinya, konspirasi negara yang korup masih belum bisa teratasi dengan good governance.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar