Amanda Putri | Kompas 07.06.2011 hal.1
Dari Group Pendidikan bagi SEMUA
Dari Group Pendidikan bagi SEMUA
Siti Zakiah (38) mengaku tak bisa tidur semalaman karena memikirkan ke mana anaknya, Khoirul Jefri Pratama (13), akan melanjutkan sekolah. Soal biaya, ia tidak khawatir lagi karena sudah mengantongi uang Rp 4 juta, hasil menabung selama enam tahun. Namun, yang masih mengganjal hatinya adalah sistem penerimaan siswa baru.
Hati Zakiah bertambah resah ketika melihat papan pengumuman di SMP Negeri 9 Salatiga yang memperlihatkan peringkat anaknya di sekolah itu, yakni peringkat ke-141 karena anaknya memiliki nilai ujian nasional 24,2. Padahal, di sekolah tersebut hanya tersedia 173 kursi untuk calon siswa dari dalam kota dan 43 kursi untuk calon siswa dari luar kota.
Ibu dua anak yang tinggal di Kelurahan Candran, Kecamatan Sidomukti, Salatiga, itu mengaku cemas sebab pada Kamis (30/6) malam, hari pertama penerimaan peserta didik baru (PPDB), Khoirul sudah berada di peringkat ke-141.
”Kelihatannya posisi anak saya terancam. Cari sekolah saja, kok, ya, susah sekali, sampai tidak bisa tidur. Lebih gampang cari uang, jadi buruh cuci sudah dapat uang,” tutur Zakiah, yang setiap bulan menabung Rp 100.000 untuk biaya sekolah anaknya. Suaminya adalah buruh bangunan sehingga berat jika harus menyekolahkan anaknya di sekolah swasta.
Bagi sebagian orangtua, sistem online penerimaan siswa baru juga sangat membingungkan. Jangankan membuka internet, menghidupkan komputer pun banyak orangtua yang kurang paham.
Untuk melihat anaknya diterima atau tidak dalam sistem online, sejumlah orangtua terpaksa meminta bantuan anaknya atau bahkan, jika perlu, anak tetangganya yang melek internet. Setelah anaknya diketahui berada dalam posisi tidak aman dan bisa tergusur dalam daftar penerimaan siswa baru, berkas pendaftaran harus buru-buru ditarik dan didaftarkan ke sekolah lain.
”Jika tidak cepat-cepat mencari sekolah lain, bisa-bisa anak tidak diterima di sekolah mana pun,” kata Rusito (35), ayah Setia Aji Pratama (13), warga Kota Salatiga.
Aji ternyata sudah berada di peringkat ke-158 dengan nilai hasil ujian nasional 23,35. Posisinya sangat mungkin tergeser. Rusito menghitung, anaknya akan tergeser jika ada 16 siswa lain yang nilainya lebih tinggi. Ia belum tahu berkas anaknya akan dialihkan ke SMPN mana jika anaknya tergeser dari daftar peringkat.
Dian Purnamasari (42) bahkan sempat bersitegang dengan panitia PPDB di salah satu SMPN favorit di Salatiga. Cemas anaknya berada di urutan bawah, ia meminta berkas anaknya untuk dimasukkan ke sekolah lain. Namun, sekolah tidak memberi karena nama si anak masih ada dalam daftar peringkat.
”Ini, kan, namanya taruhan. Iya kalau anak saya masuk. Kalau tidak, kan saya juga yang repot,” kata Dian dengan nada tinggi.
Sistem kuota
Tidak hanya menyulitkan orangtua, sistem PPDB itu juga membatasi calon siswa dari luar kota. Umumnya siswa dari luar kota hanya diberi kuota 5 persen dari kapasitas sekolah.
Di DKI Jakarta, misalnya, sejumlah orangtua yang anaknya bersekolah di Kota Tangerang dan Tangerang Selatan harus berpikir dua kali ketika akan memasukkan anaknya di SMP atau SMA Jakarta.
”Nilai ujian nasional harus lebih tinggi dari siswa lulusan sekolah Jakarta. Jika tidak, jangan harap bisa masuk ke sekolah di Jakarta,” kata Ny Erlina Prayanawati yang memasukkan berkas anaknya di SMPN 177 Jakarta Selatan.
Ny Elinawati merasa yakin keponakannya bisa masuk ke SMA Negeri 1 Bandung meskipun keponakannya berasal dari Cilacap karena nilai ujian nasionalnya cukup tinggi, rata-rata 9,17.
Namun, Indra (12), yang datang dari Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang (daerah yang berbatasan dengan Kota Salatiga), harus kecewa ketika namanya tergusur dari daftar peringkat di SMPN 4 Salatiga.
Ny Isnawati (41) memilih SMPN 4 Salatiga untuk anaknya itu karena lokasinya mudah dijangkau. Hanya sekali naik angkutan umum dari depan rumah, sampai di depan sekolah. Pertimbangannya, anaknya bisa mendapat sekolah bagus, tetapi tidak berat di ongkos.
Padahal, Indra memiliki hasil ujian nasional 24,75. Sementara di SMP itu nilai terendah yang sudah terekapitulasi adalah 20. Namun, Indra berasal dari luar kota sehingga terbentur pada kuota 20 persen yang ditetapkan Pemerintah Kota Salatiga. Ia pun harus tersingkir.
Kini, sekolah juga tidak dapat mengakomodasi calon siswa yang tinggal di sekitar sekolah. Rizki (35), yang mendaftarkan anaknya, Neli Septianti (12), ke SMPN 5 Salatiga, misalnya, waswas kalau-kalau anaknya tidak dapat diterima di sekolah yang berjarak tidak sampai 1 kilometer dari rumahnya itu. ”Sekarang sulit cari sekolah yang dekat rumah. Sistemnya sudah berbeda,” tuturnya.
Kesulitan yang sama dialami Wati (36), warga Cibubur, Jakarta Timur. Dua anaknya tidak bisa menembus SD negeri karena usia mereka belum genap tujuh tahun. Padahal, ia merasa kedua anaknya sudah sanggup masuk sekolah dasar.
Tak sebanding
Kepala SMPN 4 Salatiga Munadzir mengatakan, pendidikan seharusnya terbuka bagi siapa saja, tidak ada batasan seperti yang terjadi belakangan. ”Dulu sekolah punya kewenangan untuk menerima siswa dari mana saja dan kami bisa melihat satu per satu kondisi siswa seperti apa. Sekarang semua diukur dengan nilai,” kata Munadzir.
Kepala SMPN 10 Salatiga sekaligus SMP Terbuka Salatiga, Endang Dwi Wahyuni, mengatakan, sekolahnya selama ini banyak ”menampung” anak yang tidak diterima di sekolah lain.
Persoalan utama dari sulitnya masuk sekolah adalah tidak sebandingnya jumlah sekolah di semua jenjang. Untuk sekolah dasar, misalnya, ada sekitar 144.000 SD di seluruh Tanah Air. Namun, SMP hanya 26.000 sekolah dan hanya 57 persen yang berstatus negeri. Adapun SMA/SMK sederajat hanya ada sekitar 16.000 sekolah dan hanya 37 persen yang berstatus negeri.
Karena tidak sebandingnya jumlah sekolah ini, jangan heran jika ada yang beranggapan, mencari sekolah, kok, susah sekali.... (ELN/THY)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar