SIDANG KEENAMBELAS KOMITE HAK EKONOMI, SOSIAL, DAN BUDAYA (1997)
KOMENTAR UMUM NO. 7. HAK ATAS PEMUKIMAN YANG LAYAK: PENGGUSURAN PAKSA
(PASAL 11 (1) KOVENAN HAK EKONOMI, SOSIAL, DAN BUDAYA)
E/1998/22, LAMPIRAN IV
1. Dalam Komentar Umum No. 4 (1991), Komite mempelajari bahwa setiap orang harus memiliki jaminan tertentu untuk menghuni, yang memberikan perlindungan hukum dari pengusiran paksa, kekerasan, dan ancaman-ancaman lainnya. Dapat disimpulkan bahwa pengusiran paksa merupakan prima facie yang tidak sesuai dengan syarat-syarat Kovenan. Mempertimbangkan sejumlah laporan tentang pengusiran paksa dalam tahun-tahun belakangan ini, termasuk contoh-contoh kejadian dimana telah dipastikan bahwa kewajiban-kewajiban Negara pihak telah dilanggar, Komite kini berada dalam posisi untuk memberikan klarifikasi lebih lanjut mengenai dampak dari praktek-praktek semacam ini dalam kaitannya dengan kewajiban-kewajiban yang tertuang dalam Kovenan.
2. Komunitas internasional telah lama mengakui bahwa pengusiran-paksa adalah persoalan yang serius. Pada tahun 1976, Konferensi Pemukiman Manusia Perserikatan Bangsa-bangsa mencatat perlunya perhatian khusus pada ketentuan “operasi-operasi pembersihan besar hanya dapat dilakukan saat konservasi dan rehabilitasi tidak memungkinkan dan upaya relokasi telah ditempuh”.[i] Pada tahun 1988, dalam Strategi Global untuk Pemukiman tahun 2000, yang disahkan oleh Sidang Umum dalam resolusi 43/181, “kewajiban dasar [pemerintah] untuk melindungi dan mengembangkan kawasan pemukiman dan lingkungan sekitarnya, bukannya merusak atau menghancurkannya” telah diakui.[ii] Agenda 21 menyatakan bahwa “setiap orang harus dilindungi oleh hukum dari pengusiran-paksa dari rumah atau tanah mereka.”[iii] Dalam Agenda Pemukiman, pemerintah-pemerintah menyatakan komitmen mereka untuk “melindungi semua orang dari, dan memberikan perlindungan dan pemulihan hukum pada, pengusiran-paksa yang bertentangan dengan hukum, menjadikan hak asasi manusia pertimbangan; (dan) bilamana pengusiran itu tidak dapat dihindarkan, memastikan dengan cermat bahwa solusi alternatif yang sesuai sudah disediakan.”[iv] Komisi Hak Asasi Manusia juga telah mengindikasikan bahwa “pengusiran-paksa adalah sebuah pelanggaran berat hak asasi manusia.”[v] Namun demikian, walaupun penting, pernyataan-pernyataan itu masih menyisakan satu persoalan besar; yaitu penetapan kondisi-kondisi dimana pengusiran-paksa diperbolehkan dan jenis perlindungan yang dibutuhkan untuk memastikan dihormatinya ketetetapan-ketetapan Kovenan terkait.
3. Penggunaan istilah “pengusiran-paksa,” dalam beberapa hal, bersifat problematis. Pernyataan ini cenderung mengesankan kesewenang-wenangan dan ketidaksahan. Menurut banyak pengamat, rujukan pada “pengusiran-paksa” adalah sebuah tautologi (pengulangan kata tanpa diimbuhi kejelasan), sementara pengamat lainnya mengkritik penggunaan istilah “pengusiran-paksa” karena berpijak pada asumsi, yang tidak selalu benar, bahwa tersedia hukum relevan yang memberikan perlindungan yang memadai atas hak untuk mempunyai tempat tinggal yang sejalan dengan Kovenan. Sama halnya dengan istilah “pengusiran yang tidak adil” tampak sangat subyektif dan menampakkan kegagalannya untuk merujuk pada kerangka-kerja hukum manapun. Masyarakat internasional, terutama dalam konteks Komisi Hak Asasi Manusia telah memilih untuk merujuk pada “pengusiran-paksa,” terutama karena istilah alternatif yang diusulkan juga mengandung cacat-cacat serupa. Istilah “pengusiran-paksa” yang digunakan dalam seluruh komentar umum ini didefinisikan sebagai tindakan pemindahan sementara atau permanen yang bertentangan dengan keinginan sejumlah individu, keluarga, dan/atau komunitas atas tanah-tanah yang mereka kuasai, tanpa adanya ketentuan-ketentuan mengenai, dan akses terhadap, perlindungan hukum atau perlindungan lainnya yang layak. Larangan atas pengusiran-paksa tidak berlaku pada pengusiran dengan paksaan yang dilakukan sesuai hukum dan sejalan dengan ketetapan-ketetapan dalam Kovenan Internasional Hak Asasi Manusia.
4. Istilah "pengusiran-paksa" yang digunakan dalam Komentar Umum ini didefinisikan sebagai tindakan pemindahan sementara atau permanen yang bertentangan dengan keinginan sejumlah individu, keluarga dan/atau komunitas atas tanah-tanah yang mereka kuasai, tanpa adanya ketetapan-ketetapan dan akses hukum yang layak atau perlindungan lainnya, larangan atas pengusiran paksa tidak berlaku pada pengusiran yang dilakukan secara paksa yang berkaitan dengan hukum dan sejalan dengan ketetapan-ketetapan dalam Perjanjian Internasional Hak Asasi Manusia.
5. Praktek pengusiran-paksa semakin meluas dan menimpa masyarakat baik di negara-negara maju maupun negara-negara sedang berkembang. Di luar saling keterikatan dan ketergantungan antara hak-hak asasi manusia, pengusiran-paksa sering melanggar hak-hak lainnya. Dengan demikian, selain melanggar hak-hak yang tercantum dalam Kovenan, praktek pengusiran-paksa juga berakibat pada dilanggarnya hak-hak sipil dan politik, misalnya hak hidup, hak atas keselamatan, hak untuk tidak diusiknya privasi, keluarga dan rumah, dan hak untuk menikmati kepemilikan dengan tenteram.
6. Walaupun praktek pengusiran-paksa cenderung terjadi di kawasan padat penduduk di perkotaan, pengusiran juga terjadi sehubungan dengan pemindahan penduduk, pemindahan internal, relokasi paksa dalam konteks konflik bersenjata, eksodus masal, dan pengungsian. Dalam seluruh konteks itu, hak atas permukiman yang layak dan tanpa adanya pengusiran-paksa, mungkin dilanggar melalui rentang luas berbagai tindakan sengaja atau pembiaran, yang selalu dilekatkan dengan kewajiban Negara pihak. Bahkan dalam situasi dimana diperlukan pembatasan terhadap suatu hak, kesesuaian penuhnya dengan pasal 4 Kovenan dibutuhkan agar pembatasan apa pun yang dikenakan harus “ditetapkan berdasar hukum sejauh batasan tersebut sesuai dengan karakteristik hak-hak ini (hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya) dan ditujukan tak lain untuk meningkatkan kesejahteraan umum dalam sebuah masyarakat yang demokratis.”
7. Banyak contoh mengenai pengusiran-paksa yang berhubungan dengan kekerasan, misalnya pengusiran yang timbul karena konflik bersenjata internasional, pertikaian di dalam negeri, dan kekerasan komunal atau etnis.
8. Banyak contoh lain pengusiran-paksa adalah yang terjadi dengan dalih pembangunan. Pengusiran dapat pula berhubungan dengan konflik atas kepemilikan tanah, proyek-proyek pembangunan dan infrastruktur, misalnya pembangunan bendungan atau proyek pembangkit energi berskala-besar, dan dengan upaya penguasaan tanah sehubungan dengan peremajaan kota, perbaikan permukiman, program keindahan kota, pengosongan lahan untuk tujuan pertanian, spekulasi tanah yang tak terkendali, atau perhelatan olahraga besar seperti Olimpiade.
9. Pada intinya, kewajiban-kewajiban Negara-negara Pihak Kovenan berkaitan dengan pengusiran paksa didasarkan pada pasal 11.1, yang dibaca secara berpasangan dengan ketentuan lainnya yang relevan. Khususnya adalah pasal pasal 2.1 yang mewajibkan Negara untuk menggunakan ”segala cara yang tepat” untuk memajukan hak atas permukiman yang layak. Mengingat karakteristik dari praktek pengusiran-paksa, acuan dalam pasal 2.1 mengenai pencapaian secara bertahap yang berdasarkan atas ketersediaan sumberdaya menjadi kurang relevan. Negara sendiri harus menghindari praktek pengusiran-paksa dan memastikan bahwa hukum diberlakukan terhadap bagian dari negara atau pihak ketiga yang melakukan pengusiran-paksa (menurut definisi pada ayat 3 di atas). Terlebih, pendekatan ini diperkuat oleh Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik pasal 17.1, yang mencantumkan hak untuk tidak diusir secara paksa tanpa perlindungan memadai. Ketentuan tersebut mengakui, diantaranya, hak perlindungan dari campur tangan “sewenang-wenang atau secara tidak sah” terhadap tempat tinggal seseorang. Patut dicatat bahwa kewajiban Negara untuk memastikan penghormatan hak itu, tidak diukur berdasarkan pertimbangan ketersediaan sumberdaya.
10. Pasal 2.1 Kovenan menuntut Negara untuk memanfaatkan ”segala cara yang tepat,” mengadopsi langkah-langkah perundang-undangan, untuk memajukan semua hak yang dilindungi di dalam Kovenan. Komite telah mengindikasikan, dalam Komentar Umum No.3 (1990), bahwa langkah-langkah semacam itu sangat diperlukan dalam kaitannya dengan semua hak, maka jelas bahwa undang-undang yang menentang pengusiran-paksa merupakan landasan penting untuk membangun sebuah sistem perlindungan yang efektif. Undang-undang yang dimaksud memuat ketentuan yang (a). memberikan perlindungan yang sebesar-besarnya bagi orang yang menempati rumah dan tanah, (b). selaras dengan Kovenan (c). dirancang untuk secara ketat mengatur pada keadaan-keadaan apa pengusiran dapat dilakukan. Undang-undang itu harus pula diberlakukan terhadap seluruh pelaku yang bekerja di bawah kewenangan atau yang bertanggung jawab terhadap Negara. Mengingat di sejumlah Negara semakin besar kecenderungan Pemerintah untuk banyak mengurangi tanggung-jawabnya di sektor permukiman, Negara harus memastikan bahwa undang-undang dan upaya lainnya sudah cukup memadai untuk mencegah dan, jika perlu, menghukum pada pengusiran paksa yang, tanpa jaminan memadai, dilakukan oleh perorangan atau lembaga swasta. Oleh karena itu, Negara harus meninjau berbagai undang-undang dan kebijakan terkait untuk memastikan bahwa keduanya sesuai dengan kewajiban-kewajiban yang timbul dari hak atas permukiman yang layak dan mencabut atau mengubah undang-undang atau kebijakan yang tidak berkesesuaian dengan persyaratan dalam Kovenan.
11. Perempuan, anak-anak, remaja, orang lanjut usia, masyarakat adat, minoritas etnis dan minoritas lainnya, dan orang-orang atau kelompok-kelompok rentan, kesemuanya dapat menjadi korban praktek pengusiran-paksa. Perempuan dari semua jenis kelompok terutama rentan karena diskriminasi terhadap status mereka dan bentuk diskriminasi lainnya kerap diterapkan terhadap hak atas properti (termasuk kepemilikan rumah) atau hak mendapatkan akses terhadap properti atau akomodasi, dan karena kerawanan terhadap kekerasan dan kekerasan seksual terjadi pada perempuan yang tidak memiliki tempat tinggal. Ketentuan non-diskriminasi dalam pasal 2.2 dan 3 Kovenan memberi kewajiban tambahan bagi Pemerintah untuk memastikan bahwa, dimana terjadi pengusiran, tindakan yang tepat harus dilakukan untuk memastikan bahwa tidak terjadi diskriminasi bentuk apapun.
12. Pengusiran dapat dibenarkan, misalnya pada kasus penunggakan uang sewa yang berlarut-larut atau kerusakan atas properti yang disewakan tanpa sebab yang masuk akal, dalam hal ini kewenangan yang relevan wajib memastikan bahwa pengusiran itu dilaksanakan dengan mematuhi ketentuan hukum sebagaimana dikehendaki dalam Kovenan dan bahwa tersedia semua sumberdaya dan pemulihan hukum bagi mereka yang terkena akibatnya.
13. Pengusiran paksa dan penggusuran rumah sebagai tindakan penghukuman adalah tidak sesuai dengan norma Kovenan. Selain itu, Komite mengingatkan pula kewajiban-kewajiban yang tercantum dalam Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol 1997 yang berkenaan dengan larangan melakukan pemindahan penduduk sipil dan penghancuran properti pribadi karena hal ini berkaitan dengan praktek pengusiran paksa.
14. Negara harus memastikan, sebelum pelaksanaan setiap pengusiran, terutama yang melibatkan sejumlah besar orang, bahwa seluruh alternatif yang tersedia telah dijajaki dalam pembicaraan dengan orang-orang yang terkena imbasnya, dengan mempertimbangkan untuk menghindari, atau sekurang-kurangnya mengurangi, keperluan untuk menggunakan kekerasan. Pemulihan atau prosedur hukum harus disediakan bagi mereka yang terkena dampak dari perintah pengusiran. Negara harus juga mengawasinya agar individu yang tekena mendapatkan hak penggantian untuk kerugian properti, yang pribadi dan nyata, yang dialaminya. Dalam hal ini, penting untuk mengingat pasal 2.3 Kovenan Internasional atas Hak-hak Sipil dan Politik, yang menuntut Negara pihak untuk memastikan adanya sebuah “pemulihan yang efektif” bagi orang-orang yang haknya telah dilanggar dan merupakan kewajiban dari “kewenangan yang kompeten (untuk) menjalankan pemulihan yang telah diputuskan.”
15. Dalam hal pengusiran yang dinilai dapat dibenarkan, pengusiran tersebut harus dilakukan dengan mematuhi ketat ketentuan-ketentuan dalam hukum internasional hak asasi manusia yang relevan dan berpedoman pada prinsip senalarnya dan sewajarnya. Menyangkut hal ini, maka khususnya penting untuk mengingat komentar umum No. 16 dari Komite Hak Asasi Manusia, kaitannya dengan pasal 17 Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik, yang menyatakan bahwa campur tangan terhadap rumah seseorang hanya dapat dilakukan “sesuai ketentuan hukum”. Komite menekankan bahwa pelaksanaan hukum dimaksud “harus berkesesuaian dengan ketetapan, tujuan, dan sasaran dari Kovenan dan harus, dalam keadaan apapun, dijalankan secara beralasan.” Komite juga mengindikasikan bahwa “perundang-undangan terkait harus dengan terinci menyebutkan setepat-tepatnya pada keadaan-keadaan mana campur tangan tersebut dapat diijinkan.”
16. Perlindungan prosedural yang tepat dan proses yang seksama merupakan dua aspek pokok pada seluruh hak asasi manusia yang terutama penting pada persoalan seperti pengusiran paksa karena persoalan ini langsung terkait dengan banyak hak yang diakui dalam kedua Kovenan Internasional atas Hak Asasi Manusia. Komite mempertimbangkan bahwa perlindungan prosedural yang harus diterapkan berkaitan dengan pengusiran paksa harus memuat: (a). adanya kesempatan untuk konsultasi yang tulus dengan mereka yang terkena akibatnya; (b). pemberitahuan yang memadai dan beralasan kepada mereka yang akan terkena akibatnya sebelum hari pelaksanaan yang dijadualkan; (c). informasi tentang pengusiran yang diajukan, dan, jika dapat, informasi tujuan lain penggunaan lahan dan rumah, harus tersedia dalam waktu yang sepantasnya bagi mereka yang terimbas; (d). khususnya jika menyangkut suatu kelompok masyarakat, pejabat pemerintah atau wakilnya harus hadir selama pelaksanaan pengusiran; (e). semua petugas pelaksana pengusiran terdaftar setepatnya; (f). pengusiran tidak boleh dilaksanakan dalam cuaca buruk atau pada malam hari kecuali dikehendaki orang-orang yang terimbas; (g). ketentuan mengenai pemulihan-pemulihan hukum; dan (h). ketentuan, sejauh memungkinkan, mengenai bantuan hukum bagi yang membutuhkannya untuk menuntut pemulihan melalui pengadilan.
17. Pengusiran tidak boleh membuat individu menjadi tidak tunawisma dan rentan terhadap pelanggaran hak-hak asasi manusia lainnya. Bilamana mereka yang terkena imbas tidak mampu menyediakan kebutuhan mereka sendiri, Negara pihak harus menempuh semua upaya, sebanyak sumberdaya yang tersedia, untuk memastikan bahwa tersedia pilihan rumah, tempat pemukiman kembali atau akses terhadap lahan produktif, jika kasusnya meminta demikian.
18. Komite memahami bahwa berbagai proyek pembangunan yang didanai badan-badan internasional di wilayah Negara pihak telah mengakibatkan terjadinya pengusiran paksa. Menyangkut hal tersebut, Komite mengingatkan kembali pada komentar umumnya, komentar umum No.2 (1990) yang menyatakan, bahwa “badan-badan internasional harus mencegah keterlibatannya dalam proyek-proyek yang, contohnya,... mendukung dan menguatkan diskriminasi terhadap individu atau kelompok, yang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan Kovenan, atau menggunakan penggusuran paksa atau pemindahan orang-orang dalam skala besar, tanpa adanya ketentuan yang memadai mengenai kompensasi dan perlindungan. Setiap upaya harus dilakukan, di setiap tahap proyek pembangunan, untuk menjamin bahwa hak yang tercakup dalam Kovenan telah diberi pertimbangan sepatutnya.” [vi]
19. Sejumlah lembaga, seperti Bank Dunia dan Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) telah mengadopsi pedoman relokasi dan/atau pemukiman-kembali dengan tujuan untuk membatasi skala penderitaan manusia yang berhubungan dengan pengusiran paksa. Praktek tersebut itu kerap menyertai proyek pembangunan berskala-besar, seperti pembangunan bendungan dan proyek-proyek besar pembangkit energi lainnya. Ketaatan penuh terhadap pedoman, sejauh mencerminkan kewajiban-kewajiban yang tercantum dalam Kovenan, sangatlah penting baik di pihak lembaga pembangunan maupun Negara pihak dari Kovenan. Dalam hal ini, Komite mengingatkan pada Deklarasi dan Program Aksi Wina agar “walau pembangunan membantu penikmatan hak asasi manusia, ketertinggalan dalam pembangunan tidak dapat digunakan sebagai pembenaran untuk mengurangi hak asasi manusia yang diakui secara internasional” (Bagian 1, par. 10).
20. Sesuai dengan pedoman pelaporan yang diadopsi oleh Komite, Negara pihak dituntut untuk menyediakan berbagai macam informasi yang berkaitan langsung dengan praktek pengusiran paksa. Informasi yang dibutuhkan adalah yang menyangkut: (a) “jumlah orang yang diusir dalam kurun waktu lima tahun dan jumlah orang yang saat ini tidak memiliki perlindungan hukum untuk melawan pengusiran sewenang-wenang atau pengusiran jenis lainnya,” (b) “perundang-undangan, yang berkenaan dengan hak-hak penyewa atas jaminan hukum untuk menghuni, dan perlindungan dari pengusiran,” dan (c) “perundang-undangan yang melarang setiap bentuk pengusiran.” [vii]
21. Juga dikehendaki informasi mengenai “langkah-langkah yang diambil selama, inter alia, program-program peremajaan kota, proyek pembangunan-ulang, persiapan untuk perhelatan internasional (Olimpiade dan kejuaraan lainnya, pameran, konferensi, dll.), kampaye ‘kota indah’, dsb, untuk menjamin perlindungan dari pengusiran atau menjamin adanya pemukiman-kembali yang didasarkan pada kesepakatan bersama, dari semua yang tinggal di atau dekat kawasan-kawasan yang terkena terimbasnya.” [viii] Namun demikian, hanya sedikit Negara yang menyertakan informasi yang diperlukan dalam laporan kepada Komite. Karena itu, Komite ingin menekankan akan pentingnya pencantuman informasi tersebut.
22. Sejumlah Negara telah mengindikasikan bahwa informasi semacam ini tidak tersedia. Komite mengingat bahwa pemantauan yang efektif terhadap hak atas permukiman yang layak, baik oleh pihak Pemerintah ataupun Komite, tidak mungkin terlaksana tanpa adanya pengumpulan data yang diperlukan dan meminta semua Negara pihak untuk memastikan bahwa data yang diperlukan terkumpul dan tercantum dalam laporan-laporan yang dikirimkan oleh negara yang terikat Kovenan.
Catatan kaki
[i] Laporan Habitat: Konferensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Permukiman, Vancouver, 31 Mei-11 Juni 1976 (A/CONF.70/15), bab II, saran B.8, par. C (ii).
[ii] Laporan Komisi untuk Permukiman Manusia dalam sesi kesebelasnya. Lampiran (A/43/8/ Add.l), par. 13.
[iii] Laporan Konferensi Ligkungan Hidup dan Pembangunan Perserikatan Bangsa-bangsa, Rio de Janeiro, 3-14 Juni 1992, Volume I (A/CONF.151/26/Rev.l (vol.I)), lampiran 11, Agenda 21, bab. 7.9 (b).
[iv] Laporan Konferensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Permukiman (Habitat II) (A/CONF.165/14), lampiran 11, Agenda Habitat, par. 40 (n).
[v] Komisi Hak Asasi Manusia Resolusi 1993/77, par. 1.
[vi] E/1990/23, lampiran III, par. 6 dan 8 (d).
[vii] E/C.12/1990/8, lampiran IV.
[viii] Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar