Diadaptasi oleh Herizal E. Arifin dari buku “Belajar Pengalaman Berstruktur”, P3M, oleh Mansour Fakih, dan kawan-kawan.
S |
iapa pun kita, hampir setiap saat kita mengajukan pertanyaan untuk berbagai keperluan dan tujuan. Entah berapa pertanyaan sudah kita ajukan sepanjang hidup. Tak terhitung pasti. Bertanya bisa jadi merupakan salah satu unsur penting mekanisme pertahanan diri kita agar tetap dapat melangsungkan hidup, paling tidak saat ini. Kita bisa menduga-duga apa yang akan terjadi apabila seseorang tidak pernah melakukan kegiatan bertanya, baik kepada diri sendiri maupun orang-orang di sekitar kita. Secara umum kemungkinan jawaban adalah banyak kesempatan yang mungkin batal kita raih, banyak tujuan yang gagal kita capai, banyak umur yang kita buang sia-sia, bisa jadi pula terlalu banyak jalan yang kita tempuh, dan begitu banyak orang yang bertanya-tanya tentang kita.
Malu bertanya sesat di jalan, begitu kata orang tua kita dulu. Kita masih ingat peristiwa yang dialami Roy Suryo, anggota DPR RI dan ahli telematika itu, yang salah nomor tempat duduk dan bahkan salah pesawat karena enggan bertanya. Nah, apa jadinya apabila sebuah pelatihan dengan pendekatan partisipatif, fasilitator enggan atau tidak mau mengajukan satu pertanyaan pun sepanjang sesi. Secara prinsip dan metodologi, sang fasilitator pasti tersesat. Yang pasti pula, para panitia dan peserta akan bertanya-tanya selama mengikuti sesi sang fasilitator .
Prinsip dasar
Dalam buku yang diadaptasi ini, Mansour Fakih dan kawan-kawan menyebutkan bahwa kemampuan fasilitator mengajukan pertanyaan ketika memfasilitasi kegiatan pelatihan sepintas lalu tampak tidak penting. Padahal, sesungguhnya inilah keterampilan paling pertama dan mutlak harus dikuasai oleh seorang fasilitator. Nalarnya jelas, karena hakekat dari fungsi dan peran fasilitator pelatihan dalam konsep pelatihan partisipatif dan andragogi adalah sebagai orang yang melayani dan melacarkan kegiatan belajar peserta atas dasar pengalaman peserta sendiri.
Tidak jarang kita temukan—dan ini merupakan kelemahan umum yang ditemui dalam banyak kegiatan latihan—proses belajar menjadi mandek atau bahkan “salah arah” hanya karena fasilitator mengajukan pertanyaan yang tidak tepat pada saat dan cara yang tidak tepat pula. Di kalangan fasilitator pemula, bahkan terlalu sering ditemukan mereka menjadi bingung dan mati angin di depan kelas karena “kehabisan kata-kata untuk bertanya. Dalam keadaan panik dan mati gaya seperti itu biasanya fasilitator secara gampang saja langsung menyimpulkan pengalaman belajar peserta, tentu saja menurut persepsinya sendiri. Walhasil prinsip dasar latihan pun dilanggar lagi.
Teknik bertanya
Teknik bertanya dalam kegiatan atau proses latihan sebenarnya sederhana saja. Yang terpenting adalah kesadaran untuk tetap taat asas pada prinsip latihan partisipatif dan andragogi. Bahkan, tidak ada salahnya bagi seorang fasilitator mengaku tidak tahu—atau pura-pura tidak tahu—jawaban dari pertanyaan yang diajukan para peserta. Cara lain menjawabnya adalah dengan melemparkan kembali pertanyaan tersebut untuk dijawab oleh peserta lain. Ini demi memberi kesempatan kepada peserta untuk mengemukakan pendapat dan pengalaman mereka sendiri. Ini prinsip!
Adapun hal yang bersifat lebih teknis, antara lain:
- Usahakan agar pertanyaan diajukan secara singkat dan jelas. Jika perlu ulangi sekali lagi atau dua kali sampai jelas benar, terutama jika pertanyaan itu ditujukan pada seorang peserta tertentu.
- Namun jangan sampai pertanyaan semacam ini justru menjadi peserta gelagapan atau gugup menjawabnya. Hindari pertanyaan-pertanyaan tendesius dan gaya bertanya menghakimi (fasilitator bukan jaksa atau introgator, bukan?).
- Saat meneruskan pertanyaan dari seorang peserta ke peserta lain, hindari terjadi perang tanding diantara para peserta yang bersangkutan (berdebat langsung diluar kendali fasilitator).
- Jika perlu, pertanyaan seorang peserta dikembalikan kepadanya lagi dengan pertanyaan balik, seperti: “menurut anda sendiri bagaimana?”. Hal ini membantu peserta berpikir dan tidak menganggap fasilitator adalah makhluk yang tahu segalanya.
- Beberapa hal lain hanya bisa dipahami setelah mengalami sendiri. Mengalami bagaimana memfasilitasi sebuah pelatihan, sesuai kondisi dan situasi yang ada.
Sebagai pedoman yang lebih teknis, jenis-jenis pertanyaan dasar yang paling sering digunakan dalam kegiatan latihan selama ini, seperti dibawah ini:
Jenis Pertanyaan | Pertanyaan |
Pertanyaan ingatan | · “Dimana anda mengalaminya?” · “Kapan hal itu terjadi?” · “Apakah hal semacam itu pernah terjadi pada anda?” · “Dengan mengalami ini, apakah bisa dikaitkan dengan pengalaman anda sebelumnya?” |
Pertanyaan pengamatan | · “Apa yang sedang terjadi?” · ”Apakah anda melihatnya?” |
Pertanyaan analitik (urai sebab-akibat) | · “Mengapa berbedaan pendapat itu terjadi?” · “Bagaimana akibat kegiatan ini terhadap perilaku kelompok?” |
Pertanyaan hipotetik (memancing praduga) | · “Apa yang akan terjadi jika…?” · “Coba ramalkan apa akibatnya andaikata…?” |
Pertanyaan perbandingan | · “Siapakah dalam hal ini yang benar?” · “Mana yang anda anggap paling tepat antara X dan Y?” |
Pertanyaan proyektif (mengungkap masa depan) | · “Bayangkan jika anda menghadapi situasi seperti itu, apakah yang anda lakukan?” |
Pertanyaan tertutup (menjurus pada suatu jawaban tertentu) | · “Kita sebagai fasilitator harus selalu melemparkan pertanyaan yang tidak menjurus, ya kan?” |
Seperti terlihat pada contoh-contoh pertanyaan pada tabel di atas, jelas sekali bahwa apapun bentuk atau jenis pertanyaan kita, semua tetap bertolak dari kata-kata kunci pertanyaan yang paling pokok, yaitu:
· Apa?
· Siapa?
· Dimana?
· Kapan?
· Bagaimana?
· Mengapa?
Kata-kata /apa/, /siapa/, /dimana/, dan /kapan/ adalah kata tanya untuk mengungkapkan fakta, sementara kata kunci /bagaimana/ adalah kata tanya untuk mengungkap baik fakta maupun pendapat (opini), dan kata kunci /mengapa/ adalah kata tanya untuk mengungkapkan pendapat.
Atas dasar ini menjadi mudah jika ingin diterapkan dalam kegiatan latihan. Kata-kata kunci /apa/, /siapa/, /dimana/, dan /kapan/, lebih digunakan pada pertanyaan tahap mengungkapkan dalam proses daur belajar pengalaman berstruktur karena tahap ini memang bermaksud mengungkapkan apa yang senyatanya terjadi atau apa yang dilakukan peserta. Kata kunci /bagaimana/ juga dapat digunakan pada proses ini dan proses menganlisis maupun menyimpulkan. Tetapi kata kunci /mengapa/ lebih digunakan pada tahap menganalisis dan menyimpulkan saja, karena pada tahap ini memang sudah dimasudkan untuk meminta pendapat peserta.
Dikaitkan dengan bentuk atau jenis pertanyaan tadi, dapat dikatakan bahwa jenis pertanyaan ingatan dan pengamatan lebih digunakan pada tahap mengungkapkan. Jenis pertanyaan analitik, hipotetik, dan perbandingan lebih digunakan pada tahap menganalisis, sementara jenis pertanyaan proyektif lebih banyak digunakan pada tahap menyimpulkan. Adapun jenis pertanyaan tertutup lebih digunakan pada saat memfasilitasi akan menegaskan kembali kesimpulkan peserta diakhir kegiatan latihan.
Inilah sekedar beberapa petunjuk praktis tentang bertanya. Selebihnya adalah terus berlatih dan mencoba sendiri.
Demikian.
2 komentar:
Pokoknya setaunan blog ini, harus dijadiin buku, dan dibagikan gratis ke temen2 daerah...aku pasti dukung:D
doakan ya... sdh beberapa yang usul. aku ranang dulu buku. itu masukan bagus yang dipertimbangkan serius. salaam Tiung Geulis
Posting Komentar