Oleh Entin Sriani Muslim
"...Parahnya lagi, sampai saat ini belum ada mekanisme akuntabilitas bagi pungutan yang ditarik dari masyarakat ini. Hampir belum ada sekolah yang mengembangkan mekanisme tertentu untuk mempertanggungjawabkan dana dari masyarakat. Peran Komite Sekolah untuk mengawal pertanggungjawaban pungutan dana masyarakat masih jauh dari optimal. Mekanisme pertanggungjawaban dana masyarakat di sekolah swasta belum ada".
Kesadaran akan adanya hak utama itu, pertama akan mengantarkan warga pada hak mereka untuk mendapat dukungan pembiayaan pendidikan dari negara. Jika negara mewajibakan anak usia 7-15 tahun untuk mengecap pendidikan dasar, maka negara tentu harus siap menanggung pembiayaan atas pendidikan dasar`tersebut. Maka bukan kebetulan jika Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 kemudian mewajibkan Pemerintah dan pemerintah daerah untuk menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya (Bab VIII pasal 34). Undang-Undang ini mewajibkan pemerintah untuk mengalokasikan minimal 20% dari dana APBN dan minimal 20% dari dana APBD untuk membiayai pelayanan pendidikan, di luar gaji pendidik (bab XIII pasal 49). Pemerintah juga diwajibkan untuk memberikan beasiswa kepada siswa-siswi yang berprestasi, yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikan. Apakah hanya siswa-siswi miskin yang berhak mendapat pembiayaan layanan pendidikan? Tidak. Undang-Undang yang sama dengan jelas menyatakan bahwa anak didik yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya berhak mendapatkan biaya pendidikan (Bab V pasal 12).
"...Parahnya lagi, sampai saat ini belum ada mekanisme akuntabilitas bagi pungutan yang ditarik dari masyarakat ini. Hampir belum ada sekolah yang mengembangkan mekanisme tertentu untuk mempertanggungjawabkan dana dari masyarakat. Peran Komite Sekolah untuk mengawal pertanggungjawaban pungutan dana masyarakat masih jauh dari optimal. Mekanisme pertanggungjawaban dana masyarakat di sekolah swasta belum ada".
Kesadaran akan adanya hak utama itu, pertama akan mengantarkan warga pada hak mereka untuk mendapat dukungan pembiayaan pendidikan dari negara. Jika negara mewajibakan anak usia 7-15 tahun untuk mengecap pendidikan dasar, maka negara tentu harus siap menanggung pembiayaan atas pendidikan dasar`tersebut. Maka bukan kebetulan jika Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 kemudian mewajibkan Pemerintah dan pemerintah daerah untuk menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya (Bab VIII pasal 34). Undang-Undang ini mewajibkan pemerintah untuk mengalokasikan minimal 20% dari dana APBN dan minimal 20% dari dana APBD untuk membiayai pelayanan pendidikan, di luar gaji pendidik (bab XIII pasal 49). Pemerintah juga diwajibkan untuk memberikan beasiswa kepada siswa-siswi yang berprestasi, yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikan. Apakah hanya siswa-siswi miskin yang berhak mendapat pembiayaan layanan pendidikan? Tidak. Undang-Undang yang sama dengan jelas menyatakan bahwa anak didik yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya berhak mendapatkan biaya pendidikan (Bab V pasal 12).
Jika Undang-Undang dengan jelas mengatakan bahwa negara berkewajiban membiayai pendidikan warganya minimal pada jenjang pendidikan dasar, maka posisi warga dalam pembiayaan pendidikan menjadi jelas juga. Semestinya mereka –terutama anak didik dari keluarga yang miskin- memiliki hak untuk menagih kewajiban negara untuk membiaya pendidikan dasar bagi mereka. Saat ini negara mengucurkan dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) yang dananya diambil dari dana kompensasi BBM. Dengan dana ini, (untuk sementara) pendidikan dasar bisa diakses warga secara gratis. Bagaimana ke depan? Dalam salah satu`wawancara dengan majalah Tempo, Menteri Pendidikan menjelaskan bahwa dana itu ke depan akan diambil dari APBN. Tapi tentu saja kita semua tahu, bahwa bahkan sampai saat ini APBN belum mampu menyisihkan anggaran 20% untuk pendidikan di luar gaji pendidik, lalu bagaimana nasib pendidikan gratis ke depan? Walaupun jawabannya belum pasti, akan tetapi dari segi posisi hubungan warga dengan negara, satu yang bisa dipegang: warga berhak untuk menagih biaya pendidikan dasar kepada negara.
Karena warga berhak untuk menagih pembiayaan pendidikan pada negara, maka warga juga berhak untuk mewaspadai apa yang oleh Undang-Undang sistem pendidikan nasional disebut sebagai kewajiban peserta didik untuk menanggung biaya pendidikan. Undang-Undang ini menyatakan bahwa wajib belajar merupakan tanggung jawab yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. Karena masyarakat memiliki kewajiban dalam menyelenggarakan wajib belajar, maka mereka dinyatakan berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan. Peserta didik juga diwajibkan untuk ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, kecuali bagi peserta didik yang dibebaskan dari kewajiban tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Bab VIII pasal 34, Bab IV pasal 9, dan Bab V pasal 12).
Kenyataannya, ketentuan mengenai kewajiban peserta didik untuk ikut menanggung biaya pendidikan telah memberi peluang bagi praktek diskriminasi pendidikan. Dengan alasan bahwa pendidikan yang bermutu membutuhkan biaya, maka sekolah tetap menarik pungutan kepada siswa, dalam bentuk sumbangan pendidikan atau istilah lainnya. Banyak sekolah negeri yang mendapatkan pendanaan dari pemerintah tetap melakukan pungutan dengan berbagai nama dan alasan; yang menjadikan sekolah negeri itu sangat mahal. Akibatnya, banyak sekolah negeri yang mengklaim diri atau diakui sebagai bermutu baik, tetapi menjadi tidak lagi dapat dijangkau oleh kelompok warga yang miskin. Sekolah negeri yang dibiayai pemerintah ini menjadi sama saja dengan sekolah swasta yang sampai saat ini belum banyak menerima bantuan pendanaan dari pemerintah, dan karenanya mematok harga tinggi. Sebaliknya, banyak juga sekolah swasta yang tidak mampu berkompetisi dalam mutu dan kemampuan menggalang dana dari masyarakat, yang kemudian menjadi lebih terjangkau oleh masyarakat miskin.
Parahnya lagi, sampai saat ini belum ada mekanisme akuntabilitas bagi pungutan yang ditarik dari masyarakat ini. Hampir belum ada sekolah yang mengembangkan mekanisme tertentu untuk mempertanggungjawabkan dana dari masyarakat. Peran Komite Sekolah untuk mengawal pertanggungjawaban pungutan dana masyarakat masih jauh dari optimal. Mekanisme pertanggungjawaban dana masyarakat di sekolah swasta belum ada.
Dengan demikian, ketentuan yang mewajibkan peserta didik untuk ikut menanggung biaya pendidikan tanpa disertai dengan ketentuan untuk mempertanggungjawabkannya, membuat warga miskin tidak dapat mengenyam sekolah bermutu yang biasanya mahal. Kenyataan yang terjadi adalah hanya warga kaya yang dapat bersekolah di sekolah yang bermutu baik. Warga miskin harus bersekolah seadanya. Kata orang, bersekolah dan pendidikan adalah sarana untuk meperluas alternatif-alternatif untuk menempuh kehidupan dan mencapai kesejahteraan. Jika warga miskin tidak mampu untuk menikmati sekolah yang bermutu karena alasan biaya, maka selamanya alternatif mereka untuk menempuh kehidupan akan senantiasa terbatas.
Tapi, karena sekali lagi pendidikan yang bermutu berikut pembiayaannya adalah hak warga, maka warga dapat menagih pertanggungjawaban pungutan dana pendidikan yang ditarik dari mereka. Warga dapat menagih pertanggungjawaban Komite Sekolah dalam mengawal pertanggungjawaban pungutan dana pendidikan. Warga juga dapat menagih pertanggungjawaban pungutan dana pendidikan yang dilakukan oleh lembaga pendidikan swasta.
Kedua, kesadaran mengenai hak warga terhadap pendidikan yang bermutu akan mengantarkan warga pada hak untuk ikut merumuskan apa definisi pendidikan yang bermutu itu sendiri. Selama ini, kualitas mutu pendidikan di Indonesia disinyalir masih rendah. Hal ini tercermin dari rendahnya angka lelulusan yang dipatok dan tingginya angka ketidaklulusan di kalangan sekolah menengah baru-baru ini. Di samping itu, standar pelayanan minimal (SPM) di bidang pendidikan pun masih menjadi ajang perdebatan. Keputusan Mentri Pendidikan Nasional mengenai SPM masih dinilai sangat top-down, dan mengabaikan perundingan serta diskusi dengan para pengguna layanan di daerah dan sekolah sebagai satuan pendidikan.
Baca lebih lanjut pada Bagian 3.>>>
Tidak ada komentar:
Posting Komentar