Simak Statistik

Sabtu, 23 Juli 2011

Sang Fasilitator ("Profesional")


Oleh Herizal E. Arifin


KH Ahmad Dahlan
KATA profesional populer pada awal abad ke-20 ketika seorang dokter di Amerika Serikat sana menyusun kurikulum untuk akademi perawat. Kurikulum ini memperkenalkan jabatan perawat sebagai profesi, yaitu pekerjaan yang memerlukan pendidikan khusus, bersifat melayani manusia tanpa perbedaan, dan berlaku seumur-umur.

Pemikiran dasar di atas, kemudian hari berkembang menjadi rincian syarat-syarat sebuah profesi: pertama, sebuah pekerjaan disebut profesi jika ada pendidikan yang baku dan sinambung; kedua, ilmu yang mendasari pekerjaan ini bersifat otonom dan dikembangkan oleh orang-orang dari ilmu yang bersangkutan; ketiga, profesi merupakan suatu pekerjaan yang tidak semata-mata mencari keuntungan tetapi juga memberikan pelayanan kepada manusia tanpa pembedaan; keempat, sebagai seorang profesional, dia akan belajar seumur hidup sambil meneliti dan mengembangkan ilmunya; dan kelima, insan profesional terikat secara moril dalam hubungan kesejawatan dan menyepakati kode etik profesi, dalam arti terbuka untuk ditilik dan diperiksa oleh rekan seprofesi.


Kode etik profesi
Mencermati ketentuan tadi, maka tidak setiap pekerjaan adalah profesi. Sejauh ini yang disebut profesi adalah guru, perawat, dokter, peneliti, pengacara, wartawan, pekerja sosial, arsitek, psikolog, akuntan, asisten apoteker, analis laboratorium, sastrawan, pendeta, manajer, konselor, dan beberapa lainnya.
           
Setiap profesi itu, menetapkan nilai-nilai luhur yang dijunjung tinggi oleh insan profesi itu dalam menjalankan pekerjaannya. Inilah yang kita disebut kode etik atau kode kehormatan. Sebuah ilustrasi, jika seorang guru menganak emaskan seorang murid dan menaikan nilai ujian dari kenyataan sesungguhnya, guru itu dapat dikatakan melanggar kehormatan profesinya. Perbuatan guru itu melanggar prinsip pendidikan. Pelanggaran ini bukanlah urusan polisi atau pengadilan, melainkan urusan internal kesejawatan. Para sejawat gurulah yang perlu menegur kekeliruan guru itu.
           
Kalau demikian adanya, profesional itu berarti melakukan sebuah profesi sesuai dengan keyakinan atau kehormatan profesi itu. Seorang ahli bedah profesional tidak akan menetapkan posiennya untuk dibedah, kecuali jika itu betul-betul demi keselamatan dan kebaikan pasien. Seorang dokter kandungan, tidak melakukan bedah cesar  demi mendapat uang segera dan melimpah melainkan demi keselamatan ibu dan jabang bayinya. Lagi pula, seandainya itu sungguh perlu, ia akan memberi kebebasan kepada pasiennya untuk meminta pendapat kedua atau second opinion dari dokter bedah atau kandungan lain. Bukan kepada petinju atau tukang jagal. Makna profesional di sini adalah mengutamakan kepentingan pihak yang dilayani.

Lagi katanya, profesional itu berarti mengutamakan mutu dan disiplin kerja. Seorang atau dua konsultan evaluasi bersepakat mengenai waktu penyelesaian laporan evaluasi pada 21 Agustus, namun tiba tanggal tersebut ternyata laporan belum selesai. Ketika ditagih seminggu berikutnya oleh organisasi pemakai tenaga mereka, sang konsultan sedang melakukan kegiatan lain bersama organisasi lain. Ketika ditagih kembali tiga hari berikutnya sang konsultan kita tengah berada di Pulau Enggano, Bengkulu. Itu pun kata sejawatnya. Kalau beralas pemikiran dan kode etik profesi  di atas, inikah contoh cara kerja tidak disiplin atau tidak profesional? Saya yakin sekali anda akan menjawab dengan satu kata, “Ya!”.

Mengaku
Kata profesional sebenarnya mengandung arti yang jauh lebih dalam dari uraian di atas. Kata profesi atau profesional, menurut kabar, berasal dari kata kerja to profess yang berarti mengaku. Kata /mengaku/ tidak dapat digunakan secara sembarangan. Meskipun 4 x 4 = 16 adalah fakta, namun Ibrahim tidak berkata, “saya mengakui 4 x 4 = 16’. Eman mengakui bahwa Zimbagwe berada di Benua Afrika, walaupun ini benar.
           
Dr. Andar Ismail menguraikan bahwa "Mengaku" adalah meyakini suatu kebenaran sedemikian rupa hingga kita bersaksi tentang keyakinan itu dan menjadikan keyakinan itu sebagai ikrar. Menurut Ismail lagi, dalam Alkitab Yunani ditulis bahwa Yesus marture santos-…kalen homologian. Kata marture santos berasal dari kata martureo (bersaksi) dan dari situ lahir kata martus (martir, syahid). Sedangkan homologian berasal dari kata homologeo (mengaku). Ayat ini berusaha memperlihatkan kedalam arti perbuatan mengaku.
           
Mengaku adalah bersaksi tentang suatu kebenaran yang memiliki akibat besar, bahkan bisa berakibat pengorbanan nyawa. Mengaku adalah perbuatan yang menyakut keseluruhan diri dan keseanteroan hidup. Banyak sekali contoh yang mudah kita berikan soal ini, seperti relawan kemanusiaan di tengah-tengah medan perseteruan antarnegara, para jurnalis perang, para aktivis pencari fakta kejahatan terhadap kemanusiaan, dan seterusnya. . 
           
Itulah makna terdalam dari to profess atau profesional. To profess mengaku dengan seluruh eksistensi, dengan menanggung konsekuensi, dan sepenuh hati. Sebab itu, profesi adalah pekerjaan yang dilakukan dengan sepenuh hati dan dengan segenap jiwa serta bersedia menanggung konsekuensi sesuai dengan nilai-nilai luhur profesi itu.

Fasilitator sebagai profesi
Apa artinya kalau orang-orang menyebut fasilitator sebagai profesi? padahal tidak sedikit orang yang disebut fasilitator tidak mengeyam pendidikan khusus kefasilitatoran. Apakah juga harus profesional? Dalilnya dapat disampaikan seperti ini: 
  • Pertama, kita tidak mengangap fasilitator sekadar sebagai orang mencari nafkah, tetapi yang utama adalah sebagai transformir yang menghantarkan (dipadan dari  kata edukasi= ex ducare= menghantar ke luar) sebuah generasi, sekelompok orang, sebuah komunitas dari satu keadaan ke keadaan lain berdasarkan dealing with people.
  • Kedua, tidak mengangap fasilitator sebatas sebagai si penerima order atau pekerjaan. Misalnya, hubungan fasilitator dengan panitia penyelenggara pelatihan, lokakarya, evaluasi , dan lain sebagainya bukanlah hubungan atasan majikan, tetapi mitra. Peserta pelatihan atau lokakaryalah pusat pelayanan si fasilitator.
  • Ketiga, kita mau membayar tenaga fasilitator tanpa perlu tawar-menawar berkepanjangan. Dengan demikian kita dapat pula memberi dia jaminan hidup. Ini menggambarkan sikap menghargai. Perbandingan saja, bisa jadi kita akan dinilai bersikap tidak adil atau tidak menghargai jasa fasilitator apabila membayar seperempat atau setengah dari honor narasumber yang menyajikan materi sepanjang 90 menit. Sementara para fasilitator memfasilitasi selama 6 - 9 jam sehari pada acara yang sama. Belum lagi mereka harus menyiapkan silabi materi, bahan bacaan, alur pelatihan, dll yang dilakukan jauh-jauh hari sebelum pelatihan. Meskipun faktanya jenjang pendidikan keduanya berbeda.

Lalu, apa maknanya bagi para fasilitator yang menganggap pekerjaan memfasilitasi adalah profesi? Berbatu alas makna terdalam kata "profesional":
  • Pertama, kita melakukan pekerjaan ini bukan semata-mata karena pembayarannya, melainkan karena kita mengakui luhurnya perbuatan fasilitator.
  • Kedua, kita melakukan pekerjaan ini dengan sepenuhan hati dan keseluruhan diri, dengan tekun dan setia, dengan mutu dan disiplin.
  • Ketiga, kita menjunjung martabat profesi fasilitator dengan menunjukan perilaku dan kinerja yang sesuai dengan martabat itu.

Ketiga hal di atas mungkin terasa sangat musykil. Namun, seorang fasilitator ternama, sangat termasyur, dan dihormati di Indonesia pernah bertutur kapada saya pada suatu kesempatan pertama kali kami bertemu. Dia mengambil tempat duduk di sisi saya, bahu kami hampir saling menyentuh dan tanpa perlu melihat lurus ke arah saya, tiba-tiba dia bertutur dengan nada santun: 
  •  "Fasilitator yang "profesional" itu adalah fasilitator yang melakukan proses fasilitasi dan taransformasi bukan sebagai kewajiban melainkan kesempatan, bukan sebagai mata pencaharian melainkan sebagai panggilan hidup, bukan dengan sepenuh hati melainkan dengan segenap hati dan kesepenuhan jiwa, bukan asal jadi melainkan dengan kesungguhan, bukan hanya dengan otak melainkan juga dengan sanubari. Bagi fasilitator "profesional", memproses pelatihan adalah bagian dari dirinya. Bahkan memfasilitasi adalah dirinya".


(Seperti pesan yang berhasil menebak apa yang sedang saya pikirkan dan galaukan).


Seorang kawan fasilitator yang lain, juga aktivis, sekaligus model fasilitator panutan di mata saya, pernah bercerita kepada saya dengan suara pelan, rendah penuh muatan emosi, hampir berbisik,  ”Kadang-kadang saya bangun di pagi hari dengan perasaan kagum. Bukan main Bung, untuk memproses pelatihan dan transformasi pengalaman ternyata saya dibayar. Padahal tanpa dibayarpun saya fasilitasi”.

Walaupun sungguh tulus seperti ini niat kawan saya memfasilitasi, tetap saja ada pemintaan untuk membayar murah dan menawar, padahal tanpa dibayarpun dia fasilitasi. Mengutip kata Ebiet G. Ade, "Semoga surgalah ditanganmu". Kalau-kalau kawan-kawan fasilitator saya ini tidak profesional, menurut penerima jasanya, kode etika apa yang dilanggar? Siapa yang menilik dan menegur mereka? (hea).

Disadur dari “Guru Yang Profesional” karya Dr. Andar Ismail.

Tidak ada komentar:

Talisman

"Saya akan memberikanmu talismanIngatlah wajah si paling miskin dan si paling lemah yang mungkin pernah kau temui, kemudian tanyakan pada dirimu sendiri, apakah langkah yang kamu rencanakan akan berguna baginya. Apakah dia akan memperoleh sesuatu dari langkah itu? Apakah itu akan membuat dia dapat mengatur kehidupan dan nasibnya sendiri? Maka akan kamu dapatkan keraguan itu hilang.” Mahatma Gandhi