Tulisan ini mencoba memerikan beberapa hal tentang transformasi sosial, pembelajaran transformatif, dan potensial transformatif, termasuk praktik-praktik penting dan kondisi-kondisi ideal untuk menerapakn pembelajaran transformatif. Tulisan ini pernah dimuat dalam Manual Pelatihan HAM Tahunan (PHAMT) 2008-2011. Manual pelatihan disusun oleh para alumni diantaranya Atikah Nuraini, Herizal E. Arifin, dan kawan-kawan. PHAMT diselenggarakan atas kerja sama Equitas Canada dengan para alumni International Human Rights Training Program yang diselenggarakan di Montreal, Canada.
Praktik-praktik Penting dan Kondisi-kondisi Ideal untuk menerapkan Pembelajaran Transformatif
Menjabarkan Perubahan (Transformasi) Sosial
Transformasi sosial dapat melibatkan perubahan dalam struktur sosial, hubungan antar tenaga kerja, urbanisasi, perilaku, kepercayaan, pandangan, nilai-nilai, kebebasan dan hak-hak, kualitas pendidikan, keuntungan secara kompetitif dan komparatif serta tata pemerintahan yang baik.
Sumber: Alvi, H. (2005). The Human Rights of Women and Social Transformation in the Arab Middle East. Middle East Review of International Affairs, Vol. 9, Juni 2005, No. 2.
Dalam Mencapai Transformasi Sosial
Taylor (1998), dengan merujuk pada pendapat Paulo Freire mengenai tujuan transfromasi sosial, menunjuk Freire “... sangat menaruh perhatian pada transformasi sosial melalui pengungkapan kebenaran oleh orang-orang yang tertindas dengan cara membangkitkan kesadaran kritis mereka dimana mereka belajar untuk menerima pertentangan-pertentangan sosial, politis dan ekonomi, serta mengambil tindakan dalam melawan elemen-elemen opresif kebenaran.”
Sumber: Taylor, E. (1998). The Theory and Practice of Transformative Learning: A Critical Review. Ohio: Vocational Education, Ohio State University. Dapat diakses melalui alamat web: www.cete.org/acve/mp_taylor_01.asp (diakses pada tanggal 6 Oktober 2004)
Pembelajaran Transformatif
Mezirow, yang membuat teori pembelajaran transformatif, menyatakan bahwa para individu dapat ditransformasi/dirubah melalui sebuah proses refleksi kritis. Ia lalu menjelaskan bahwa dalam pembelajaran transformatif, pembelajaran yang paling kentara justru timbul dalam ranah komunikatif yang “melibatkan pengidentifikasian pemikiran, nilai, kepercayaan serta perasaan yang bermasalah, secara kritis menguji asumsi yang mendasari hal-hal tersebut, menguji pembenaran mereka melalui diskursus rasional dan membuat keputusan yang diambil berdasarkan hasil konsesus.” (Taylor, 1998, p. 43)
Sumber: Nazzari, V., et al. (Canadian Human Rights Foundation, yang merupakan nama Equitas sebelumnya) (2005). Using Transformative Learning as a Model for Human Rights Education: A Case Study of the Canadian Human Rights Foundation’s International Human Rights Training Program, Intercultural Education, Vol. 16, No. 2, Mei 2005, halaman. 171-186.
Model Potensial Transformatif
Model potensial transformatif merupakan sebuah representasi visual mengenai bagaimana pembelajaran transformatif dapat menciptakan sebuah dampak pada tingkat individual, lembaga, dan masyarakat.
Di bawah ini merupakan tindakan-tindakan serta keadaan-keadaan penting dalam menerapkan pembelajaran transformatif seperti yang ditunjukkan oleh J. Mezirow[1] dan para peneliti sesudahnya yang mendukung serta memperluas penemuan-penemuannya.
1) Kondisi-kondisi belajar yang ideal
· Kondisi-kondisi belajar yang meningkatkan rasa keamanan, keterbukaan serta kepercayaan (contohnya kelayakan lingkungan pelatihan).
2) Situasi pembelajaran yang terbuka dan mengutamakan refleksi kritis
· Dibentuknya situasi pembelajaran yang demokratis, terbuka, rasional, memiliki akses kepada semua informasi yang ada serta mengutamakan refleksi kritis.
3) Pembelajaran transformatif sebagai pengalaman
· Pembelajaran yang mensyaratkan adanya saling berbagi pengalaman hak asasi manusia secara pribadi maupun profesional
4) Kurikulum yang berpusat pada peserta
· Metode-metode struktural efektif yang mengutamakan pendekatan berpusat pada siswa, mengangkat otonomi, keterlibatan dan kerjasama para siswa.
· Kegiatan-kegiatan yang memberi dukungan terhadap eksplorasi perspektif pribadi alternatif, pengajuan masalah serta refleksi kritis.
5) Umpan balik dan penilaian diri
· Keadaan-keadaan pembelajaran yang mendukung umpan balik yang layak dan tepat waktu merupakan sebuah aspek utama dalam proses pembelajaran partisipatif.
· Berada dalam sebuah lingkungan yang mendukung kemampuan untuk tidak memberikan kritik terhadap ide orang lain secara pribadi dan bagaimana menanggapi kritik dari orang lain.
6) Pengaturan kelompok untuk pembelajaran transformatif
Kondisi-kondisi signifikan bagi pembelajaran transformatif dalam konteks kelompok meliputi:
· Kesempatan untuk saling mengenal latar belakang budaya dari seluruh peserta di dalam kelompok.
· Perlunya menghargai dan tidak menghindari “ketidaksepahaman dan konflik”.
· Keharusan melaksanakan ide-ide baru.
7) Karakteristik Fasilitator
· ‘Guru’ harus dapat dipercaya, bersikap empati, peduli, mempertahankan keaslian, jujur dan menunjukan integritas tingkat tinggi.
Sumber: Nazzari, V., et al. (Canadian Human Rights Foundation, nama Equitas sebelumya). (2005). Using Transformative Learning as a Model for Human Rights Education: A Case Study of the Canadian Human Rights Foundation’s International Human Rights Training Program, Pendidikan interkultur Vol. 16, No. 2, Mei 2005, hal. 171-186.
[1] Jack Mezirow memulai teori pembelajaran transformative. Ia merupakan Profesor Emeritur Pendidikan Lanjutan dan Dewasa pada Teachers College, Columbia University. Titik berat penelitian Professor Mezirow adalah pada pembelajaran dan pendidikan bagi orang dewasa. Hasil kerjanya telah membuahkan sebuah perubahan teori Transformasi yang melingkupi dimensi generic serta proses pembelajaran dan dampaknya bagi para pendidik orang dewasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar