Simak Statistik

Sabtu, 06 Agustus 2011

KEJUMUDAN DAN DEFISIT AKTIVIS LSM


Oleh Dedi Haryadi. Ketua Bandung Institute for Governance Studies (BIGS)

Dalam pergaulan dan terminologi dunia ornop atau LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat)  dikenal istilah 5L: lu lagi lu lagi  and then lu.  Sepertinya main-main, tapi sesungguhnya ini mencerminkan sebuah kegawatan, yaitu terjadinya defisit aktivis LSM. Dari  satu pertemuan ke pertemuan lain, apakah seminar, diskusi, dikusi kelompok terfokus, lokakarya,  dan lain-lain  didapati peserta pertemuan orangnya itu-itu juga. Mengapa defisit ?

Sudah lama para aktivis LSM yang jam terbangnya sudah tinggi direkrut dan diserap oleh lemba-lembaga pembangunan internasional atau lembaga dana (funding agency). Sehingga  ada ungkapan, sepandai-pandai aktivis LSM melompat, jatuhya ke funding agency juga.   Yang  baru adalah , aktivis LSM sengaja pindah, hijrah dari ranah masyarakat sipil  ke ranah masyarakat politik. Pertumbuhan institusi politik baru sepanjang satu dekade terakhir, pasca jatuhnya rejim pemerintahan otoriter, menyediakan peluang besar bagi aktivis LSM untuk menjadi politikus.  Gejala aktivis LSM pindah arena bermain bukan hanya personal, tapi juga institutional. Ada institusi LSM atau jejaring aktivis LSM yang sengaja ingin bertransformasi  menjadi institusi politik. Bahwa kemudian belum tercapai, itu soal lain.
Selain pindah arena, akivis LSM juga banyak diserap oleh institusi-institusi baru seperti  komisi pemilihan umum, komisi penyiaran, kepolisian, kejaksaan, pemberantasan korupsi, komisi HAM dan lain-lain.  LSM menjadi institusi pemasok sumberdaya manusia (SDM) yang cukup penting untuk organisasi-organisasi baru itu. Malah seperti institusi partai politik, birokrasi dan militer,  ia sudah  jadi sarana untuk mobilitas vertikal. Padahal dibanding dengan partai politik, institusi militer dan birokrasi, proses perekrutan dan kaderisasi di LSM paling tidak jelas dan tidak tertib.

Yang jauh lebih gawat sebenarnya bukan defisit aktivis, tetapi  kejumudan berpikir. Dalam tiga tahun terakhir ini saya punya kesempatan untuk mengevaluasi ratusan proposal advokasi yang diajukan oleh LSM dari berbagai daerah dengan keragaman isu yang cukup variatif. Kesan yang didapat,  tidak ada gagasan dan inisitif baru. Tidak ada terobosan pemikiran (breaktghrough) ada. Desain dan menu-menu advokasi yang ditawarkan itu-itu dan biasa saja.  Padahal lansekap sosial, ekonomi, politik dan kultural masyarakat kita mengalami perubahan drastis. Dalam satu dekade terakhir Indonesia mengalami banyak perubahan dramatis:  lansekap sosial politik jauh lebih demokratis, hubungan pemerintah pusat dengan daerah lebih terdesentralisasi, desentralisasi fiskal trennya makin mendalam, prasyarat untuk menjadi manusia bebas dan merdeka  sudah terpenuhi dengan adanya kebebasan berorganisasi, kebebasan pers dan kebebasan informasi.

Meskipun begitu saat ini kita masih dihadapkan pada beberapa masalah utama  yaitu: 1) pemenuhan kebutuhan dasar warga negara: lapangan pekerjaan, kesempatan berusaha, pendidikan, kesehatan, perumahan, air bersih dan lain-lain; 2) tata kelola pemerintahan (semua tingkatan) yang masih rawan penyalahgunaan wewenang, 3) tata kelola anggaran, aset negara dan sumberdaya publik belum partisipatif, transparan dan akuntabel,  4) tingginya prevalensi korupsi termasuk di dalamnya korupsi politik dan korupsi pengadilan (judicial corruption), 5) merawat demokrasi termasuk di Problem-problem itu menuntut pemecahan sesegera mungkin, sebelum orang kehilangan kepercayaan pada demokrasi. LSM perlu ambil bagian penting dalam pemecahan masalah itu. Akan tetapi peran dan kontribusi LSM di masa depan tidak akan optimal mengatasi problem tersebut jika komunitas LSM belum sanggup mengatasi problem kejumudan dan defisit aktivis ini.

Sebenarnya problem defisit akivis tidak perlu terlau merisaukan seandainya LSM dalam mengembangkan kegiatan advokasinya  sukses mentransformasikan tiga hal. Pertama, inisiatif, kegiatan atau program advokasinya ditransformasikan sehingga ia  dimiliki masyarakat akar rumputnya (grass root). Kegagalan transformasi ini bersumber pada metode atau pendekatan yang digunakan LSM dalam merancang pogram kurang partisipatoris. 

Kedua,  tidak terjadi  transfer  pengetahuan dan keterampilan advokasi dari LSM kepada masyarakat akar rumput. Soalnya lebih pada kalangan LSM sendiri, yang masih belum mahir  mengelola  pengetahuan yang di dapat dari aktivitas advokasinya.  Pembentukan institusional memori tentang advokasi yang dilakukan masih lemah sehingga  proses belajar bersama (collective learning process) tidak optimal.

Ketiga, inisiatif, kegiatan atau program yang dikembangkan LSM, yang didukung oleh lembaga-lembaga dana internasioanl, gagal ditransformasikan menjadi gerakan sosial yang lebih luas dan masif. Dari pada menjadi sebuah gerakan sosial (social movement), inisiatif dan program yang dikembangkan LSM lebih tampak sebagai gerakan proposal (proposal movement).

Ada empat hal strategis yang perlu dipikirkan kominitas LSM untuk mengatasi kejumudan. Pertama, kegiatan advokasi LSM harus ditempatkan dalam konteks dialektika teori-praksis. Teori yang baik akan membimbing praksis yang baik. Praksis yang baik akan menyumbang pada penguatan dan pengayaan (pertumbuhan) teori. Banyak menu advokasi LSM yang datang ujug-ujug, karena tidak memperhatikan landasan teoritiknya. Demikian juga karena sibuk berpraksis, kita abai memperhatikan apa sumbangan teoritisnya dari praksis yang dikembangkan. Kegiatan advokasi yang dikembangkan LSM sejatinya harus nyumbang pada pertumbuhan dialektis ini.

Sudah lama saya memimpikan: kapan kita di rujuk orang, baik untuk teori maupun praksis. Selama ini kita selalu memakai praktek terbaik dan lensa orang lain, kasus orang lain, bahkan untuk memahami apa yang terjadi pada lingkungan kita. Dalam tata kelola anggaran publik misalnya, kita merujuk ke Porto Alegre di Brazil. Dan kita rama-rame jiarah ke sana untuk mengetahui apa yang terjadi. Saya berharap besok lusa kita yang dirujuk dan dijiarahi orang lain. Malah kalau bisa, kita bisa menggunakan penanganan pedagang kaki lima gaya Solo misalnya,  untuk menjadi lensa dan  menjelaskan fenomen PKL di negara lain.

Kedua,  komunitas LSM harus mengembangkan keahlian dan pemikirannya mengembangkan program advokasinya yang: 1)  dapat ditransfer kepada masyarakat sehingga program itu menjadi  milik kelompok sasarannya (masyarakat), 2) bisa menjadi  embrio sebuah gerakan sosial yang lebih luas, dan 3)  harus bisa “buy-in” sehingga bisa “dibeli”  oleh masyarakat, pemerintah atau partai politik.

Ketiga, komunitas LSM harus lebih politis dan punya keterampilan politik tinggi untuk mengembangkan advokasinya. Termasuk didalamnya mengemas insentif politik apa yang akan ditawarkan kepada para politisi supaya mereka mendukung agenda perubahan yang diinginkan. Partai politik dan politisi pada dasarnya akan mau merespon dan mendukung advokasi yang dikembangkan kalau mereka mendapatkan insentif politik yang baik dan memadai. 

Keempat, komunitas LSM harus mencurahkan seluruh energi kreatinya untuk mengembangkan advokasi berbasis pada kekuatan sumberdaya sendiri. Cepat atau lambat, terkena krisis keuangan atau tidak, lembaga dana luar negeri itu akan pamit juga. Sebab pada dasarnya lembaga dana juga tidak loyal.  Selain itu secara ideologis menggantungkan advokasi pada dana luar negeri sering dianggap kurang nasionalis.

Pengumpulan dan pengelolaan sumberdaya publik yang dilakukan oleh beberapa lembaga seperti Kompas,  Dompet Dhuafa, Rumah Zakat, pundi amal SCTV,  dan lain-lain menunjukkan bahwa sumberdaya lokal itu ada dan tersedia, tinggal dikembangkan kreasi untuk menggalinya. Selain dari masyarakat, perlu juga komunitas LSM mengadvokasikan sumber pendanaan advokasinya dari Anggaran Pendapata dan Belanja Negara (APBN). Setengah atau satu persen dari APBN sudah cukup untuk menggantikan hegemoni dan dominasi peran lembaga-lembaga dana internasional dalam pembiayaan advokasi LSM.







Tidak ada komentar:

Talisman

"Saya akan memberikanmu talismanIngatlah wajah si paling miskin dan si paling lemah yang mungkin pernah kau temui, kemudian tanyakan pada dirimu sendiri, apakah langkah yang kamu rencanakan akan berguna baginya. Apakah dia akan memperoleh sesuatu dari langkah itu? Apakah itu akan membuat dia dapat mengatur kehidupan dan nasibnya sendiri? Maka akan kamu dapatkan keraguan itu hilang.” Mahatma Gandhi