Kluk Kluk Klan in Gainesville, Florida, 31 Desember 1922 |
Jakarta, Kompas 23/01/11- Meski ada upaya memajukan kondisi kebebasan beragama dan berkeyakinan, praktik intoleransi, diskriminasi, dan kekerasan terus terjadi di Indonesia antara tahun 2007 dan 2010. Penyelenggara negara dan partai politik tidak mampu menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan dan tak paham prinsip fundamental hak asasi manusia yang menjadi hak konstitusional warga negara.
Laporan Setara Institute mengenai Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan 2010, yang diluncurkan di Jakarta, Senin (24/1), mencatat 216 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan yang mengandung 286 bentuk tindakan. Kejadian itu tahun 2010 menyebar di 20 provinsi.
Dari 286 bentuk tindakan itu, menurut peneliti senior Setara Institute, Ismail Hasani, terdapat 103 tindakan negara yang melibatkan penyelenggara negara sebagai aktor. Dari jumlah itu, 24 adalah tindakan pembiaran (by omission) dan 79 adalah tindakan aktif, termasuk pernyataan pejabat publik yang provokatif dan mengundang terjadinya kekerasan (condoning).
Jumlah itu pun merupakan fenomena gunung es. Seperti diungkapkan Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos, data Center for Marginalized People (CMARs) di Jawa Timur menemukan 55 kasus pelanggaran, sementara Setara Institute menemukan 28 kasus. ”Yang sesungguhnya terjadi bisa lebih tinggi dari yang ditemukan. Di banyak tempat, tak ada kekerasan, tetapi diskriminasi terus berlangsung,” jelasnya.
Lima provinsi
Lima provinsi dengan tingkat pelanggaran tertinggi adalah Jawa Barat (91 peristiwa), Jawa Timur (28), DKI Jakarta (16), Sumatera Utara (15), dan Jawa Tengah (10). ”Jika tahun sebelumnya, pelanggaran lebih banyak terjadi pada jemaah Ahmadiyah, tahun 2010 pelanggaran terbanyak terjadi pada jemaat Kristiani,” kata Ismail.
Laporan itu menggarisbawahi, selama empat tahun ini tak tampak prakarsa dan terobosan dalam mengatasi berbagai kekerasan yang dialami kelompok minoritas dalam hubungan antaragama maupun dalam agama atau keyakinan. Pemerintah pusat baru bertindak setelah situasi meruncing. Pemerintah daerah tak melakukan apa-apa.
Ketua Setara Institute Hendardi menambahkan, pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah pelanggaran kebebasan fundamental.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar